Sunrise on Sunday
Setiap
minggu aku selalu duduk di sebuah saung yang terletak di tepi pantai. Aku
selalu berangkat jam lima dari rumah hanya untuk melihat matahari terbit.
Selain melihat matahari terbit, aku juga ingin melihat matahari terbitku yang
kedua. Yaitu seorang cowok tampan yang selalu lari pagi di tepi pantai.
Diam-diam aku sering mengamati cowok misterius itu. Aku suka melihat wajahnya
yang terkena biasan matahari pagi.
Dia kembali datang. Lari pagi dengan
santai di tepi pantai. Wajahnya benar-benar indah ketika matahari terbit
menyinarinya dari belakang. Dia tidak pernah berlari sampai depan saung. Dia
selalu kembali berlari ke timur dan menghilang. Begitulah ritual paginya. Aku
suka melihat matahari terbit sedangkan cowok misterius itu hobi berlari di tepi
pantai.
Keesokan harinya di sekolah. Aku
selalu menceritakannya pada Alfa. Alfa adalah sahabatku sejak kecil. Ke
mana-mana kami selalu bersama, hingga kami mendapat sebutan “si kembar tapi
beda”. Biasanya pada hari senin, aku selalu mendapat sekuntum bunga matahari di
mejaku. Dan aku tahu bunga itu merupakan pemberian Alfa. “kamu suka sama berapa
cowok sih?” ucap Alfa. Aku sedikit meringis mendengar ucapannya.
Alfa tahu kalau aku sedang menyukai Fado
sekarang. Cowok tampan pemain basket terkenal di sekolahku. Sejak kelas satu
SMA aku menyukai cowok keren itu. “aku nggak bilang kalo aku suka sama si
matahari terbit itu, Al. Aku cuma bilang kalo aku penasaran sama dia.” Jelasku
pada Alfa. Kami duduk di sebuah tempat duduk yang terbuat dari semen di halaman
sekolah. “lagian kamu cuma janji ter…” kata-kataku mengambang begitu kulihat
wajah Alfa yang terkena biasan matahari dari belakangnya. Bentu wajah itu….
“janji apa?” tanya Alfa
menyadarkanku. Aku sedikit salah tingkah. Aku mulai curiga pada Alfa dan tidak
konsen dengan apa yang aku bicarakan. Janga-jangan cowok yang di pantai itu Alfa.
Batinku. “janji apa, ndah?” Alfa mengulangi pertanyaannya. Namun, aku sudah
terlanjur larut dalam pikiranku. Akhirnya aku mencoba menghindari Alfa. “Al,
aku ke kelas dulu ya.” Ucapku lalu pergi meninggalkan Alfa.
***
Minggu
selanjutnya aku kembali pergi ke saung pagi-pagi buta. Hubunganku dengan Alfa
semakin kacau. Aku mulai sering memikirkan cowok itu. Aku sangat memercayai
Alfa sebagai sahabat dan aku tidak ingin Alfa menyukaiku, atau ingin
menganggapku lebih. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Aku terlalu takut jika
Alfa menyukaiku.
Matahari mulai terlihat malu-malu
muncul dari ufuk timur. Dan cowok itu kembali datang. Dia berlari ke arah barat dan tak lama
kemudian dia membalikkan tubuhnya lalu putar arah kembali ke timur. Cowok itu
tidak kembali lagi setelah berlari ke timur. Hal itu semakin membuatku yakin
bahwa dia adalah Alfa. Karena satu-satunya cowok yang tahu kalau aku sering
datang ke sini adalah Alfa.
Aku semakin penasaran. Kali ini
kucoba memberanikan diri untuk mengikuti cowok itu. Cowok itu terus berlaru dan
aku mengikutinya diam-diam bagaikan penguntit. Ketika tiba di garis pantai yang
berkelok dan dibatasi tebing pegunungan, aku semakin mempercepat lariku agar
tak kehilangan jejak. Aku berhasil mengikutinya. Dia terus berlari menjauhi
pantai dan memasuki hutan kecil di sana. Aku sedikit khawatir. Walaupun jarakku
dengan cowok misterius itu terbentang jauh. Tapi kekhawatiranku tak dapat
kututupi.
Hutan kecil itu tembus pada jalan
raya. Aku mulai tenang dan terus mengikutinya. Tiba-tiba dia memasuki sebuah
rumah yang mempunyai gerbang besar dengan pagar cokelat emas. Lama aku hanya
menatap rumah itu. Sepertinya aku mengenali rumah itu. Aku menatap jalan raya
yang aku pijaki. Aku sadar jalan raya ini adalah jalan menuju ke rumah Alfa.
Dan rumah berpagar cokelat emas itu adalah rumah Alfa. Dugaanku benar. Cowok
misterius itu adalah Alfa. Dan jangan-jangan Alfa tahu kalau aku mengikutinya
sejak tadi?
Alfa memang cowok manis dengan kulit
lumayan putih, wajahnya bersih. Namun, aku tidak mungkin menyukai sahabatku
sendiri. Apalagi dia adalah sahabat kecilku.
***
Semenjak
kejadian itu hubunganku dengan Alfa semakin renggang. Aku selalu menjahuinya
tanpa alasan. Sedangkan Alfa selalu mengejarku dengan beribu pertanyaan yang
sama. “Indah!” panggilnya dengan langkah-langkah cepat. Namun aku tak
menghiraukannya. Aku terus melangkah ke kantin.
“kamu kenapa sih kok jadi aneh
gini?” tanya Alfa. “aneh gimana?” balasku dengan nada ketus. “kamu ngejauhin
aku. Ada apa? Aku salah?” tanyanya. Aku mencoba menatap Alfa tajam. “cowok di pantai
itu kamu kan?” ucapku sedikit membentak. Mata Alfa membulat lebar. “cowok
pantai?” katanya sedikit mengangkat sebeah alisnya. “aku nggak pernah ke pantai
minggu pagi. Aku selalu tidur. Kenapa kamu bisa ngira kalo cowok itu aku?” “aku
sudah mengikutinya kemaren. Dan cowok itu masuk ke rumahmu!” jelasku penuh
emosi dan meninggalkan Alfa. “tapi dia bukan aku, Ndah!” teriaknya dan aku tak
mengubrisnya.
***
Minggu
pagi, aku kembali mendatangi saung untuk melihat sang mentari terbit. Tiba-tiba
HP-ku bergetar. ada satu pesan masuk. Dari Alfa. Kubuka pesan itu dan kubaca.
“cowok matahari terbitmu itu bukan
aku, Indah. Dia itu saudara sepupuku sendiri. Dan kamu tahu orangnya, tapi dia
bukan aku. Sorry, selama ini aku merahasiakannya darimu. Tapi aku sekarang
sudah jujur. Jadi aku pikir kita bisa baikan lagi.”
Sengaja aku tak membalas pesan dari
Alfa. Karena aku yakin itu pasti cuma alasan cowok itu. Yang kutahu, Alfa tidak
pernah mempunyai saudara sepupu. Aku sering
ke rumahnya. Tapi tak seorangpun yang pernah muncul di sana. Hanya Alfa.
Dia sahabat kecilku. Dan aku pasti akan tahu kalau dia punya saudara sepupu.
Perlahan matahari mulai menampakkan
dirinya. Menyinari laut biru dan menyelimuti laut itu dengan warna merah keemasan.
Aku menyukai warna itu. Lalu bersamaan dengan terbitnya matahari, seorang cowok
kembali datang dan berlari-lari kecil mengikuti garis pantai. seketika emosiku
kembali buncah, aku beranjak dari saung dan menghampiri cowok itu dengan
langkah-langkah cepat.
Begitu tiba di dekatnya aku beridiri
berkacak pinggang. “Alfa!” teriakku dengan suara lantang. Seketika cowok itu
berhenti dan menoleh padaku. Wajahnya terlihat gelap karena biasan matahari.
Dia menghampiriku. Aku juga menghampirinya. Dan begitu tiba tepat di hadapan
cowok itu. Aku terperangah dan kaget. Cowok matahari terbit itu bukanlah Alfa.
Melainkan Fado. Cowok yang selama ini aku suka.
“hai!” sapanya santai. Aku mencoba
tersenyum dan sedikit salah tingkah. “emm… maaf, aku pikir kamu Alfa.” “aku
tahu, kamu ngejauhin Alfa cuma gara-gara aku kan?” aku hanya diam. “aku
sepupunya Alfa. Sebenarnya dari dulu aku sering melihat kamu di saung. Aku
sering ngasi bunga matahari melalui Alfa. Tapi aku minta Alfa agar
merahasiakannya. Maaf ya.” Aku hanya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
Aku masih terperangah mendengar
penjelasannya. Dan kenapa Alfa tidak pernah bilang kalau F`do adalah saudara
sepupunya. Dasar Alfa, dia memang sahabat yang baik. Maafkan aku ya, Al. Batinku.
Ternyata matahari terbitku yang misterius adalah orang yang selama ini kusuka.