Dia Seorang Muslim
“sebenarnya aku
juga suka seseorang di sini.”
Serasa ada yang memukul dadaku saat
itu. Tersentak dengan ucapannya. Sekuat tenaga kumencoba tetap tersenyum,
sambil menyembunyikan wajahku darinya.
“ciee… biar aku tebak siapa,” kataku
seketika.
Aku tak menyangka masih bisa berkata
seperti itu setelah mendengar pengakuannya yang mengejutkan. Aku yakin gadis
yang dia suka bukan aku. Entah mengapa aku merasa gadis yang dia suka adalah
anak kelas lain. Dan aku mengenalnya.
“anak kelas lain, kan?”
Ada kilatan terjejut di matanya.
“kok tau?”
Dan lagi, sekuat tenaga aku mencoba
tersenyum penuh arti. “iya dong. Lagian juga udah keliatan kok. Cara kamu
ngobrol sama dia udah keliatan. Apa perlu aku sebutin namanya?”
Dia sibuk menutup pintu mobil,
sementara aku duduk sambil pura-pura memainkan HP. Dan pastinya masih dengan
bibir tersenyum jahil. Kutunggu responnya, hingga begitu dia menyalakan mobil,
matanya beralih menatapku sambil tersenyum malu-malu.
“coba aja kalo kamu emang tau.”
Aku memaksakan senyuman yang sama.
Walau diam-diam aku menarik napas yang terasa berat. “Nia, kan?” ucapku.
Kulihat wajahnya langsung berubah
cerah. Dia memalingkan wajahnya dariku, menatap lurus ke depan lalu melajukan
mobil.
“iya, Nia.” Katanya pelan. “nggak
tau kenapa aku bisa suka sama dia. Dia imut, manis, cantik. Dan kayaknya dia
juga suka sama aku.”
Otakku mendadak mengingat tingkah
gadis itu saat bersama Ardi. Dia terlihat ceria, beda dan perhatian. Aku juga
sempat melihat Ardi mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas.
Aku tersenyum mengingatnya. Walau
hati ini sakit, tapi entah mengapa. Aku senang melihat Ardi senang. Yang
terpenting bagiku adalah Ardi masih menganggapku ada dan sebagai teman yang
dipercaya.
“iya, Ar. Kayaknya dia juga suka
sama kamu. Keliatan kok.”
Ardi langsung tertawa-tawa. Namun
tak berkomentar apa-apa. Mobil melaju pelan begitu hampir tiba di kosanku. Dan
saat mobil itu berhenti, aku membuka mobil. Sebelum menutupnya aku tersenyum
pada Ardi.
“makasih, Ar. Dan selamat berjuang
buat Nia. Hahaha...”
Seketika Ardi tersenyum. “haha, udah
ah, Fal. Jangan bikin aku makin berharap ke dia. Dia udah punya cowok kok.”
Lagi-lagi aku tersenyum. Walau aku
juga merasa aneh dengan senyumku ini. “kan cuma sebatas suka. Pokoknya selamat
berjuang deh. Hehe, ya udah, Ar. Hati-hati yaa…” begitu mobil Ardi menghilang,
aku langsung mesuk ke dalam kos. Setelah beberapa kali menarik napas, akhirnya
tanganku bisa menulis dengan lancar pada diary coklatku.
***
Aku tidak tahu sejak kapan rasa ini
ada untuk Ardi. Dia bahkan laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Selama
ini aku tak pernah menyukai laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Ardi
beragama katolik, dan aku islam. Selama SMA, aku selalu menyukai laki-laki yang
taat pada agama, yang rajin, tawadu’ dan bertanggung jawab. Sementara Ardi,
laki-laki ramah dengan wajah belasteran cina jawa itu, dan memiliki mata coklat
itu, aku tak tahu kenapa aku bisa menyukainya. Banyak laki-laki yang
bertanggung jawab di sini, banyak laki-laki yang baik di sini. Tapi entah
kenapa hatiku jatuh padanya.
Aku juga tidak tahu sejak kapan rasa
ini tumbuh dan menjalar. Dia memang cukup dekat denganku, dia kadang manja, dia
kadang suka mencorat-coret bukuku, dia kadang mengejekku, memberi kritikan
pedas, dan kadang bercerita panjang lebar tentang keluarganya, dan untuk kali
pertama dia bercerita masalah perasaannya pada gadis itu.
Ada sesuatu yang mengiris hatiku.
Itu pasti, tapi ada hal yang lebih menyakitkan bagiku daripada mengetahui
masalah perasaannya pada gadis itu. saat melihatnya sedih, tak bersemangat,
saat melihatnya bingung, saat melihatnya lelah. Hal itulah yang membuatku rela
melakukan sesuatu untuk membuatnya kembali tersenyum. Hal yang paling membuatku
sakit saat melihatnya sedih.
Pernah suatu hari dia mendadak duduk
di sampingku lalu berkata, “aku sakit, Fal.”
aku langsung khawatir dibuatnya.
Namun aku tak ingin menunjukkannya di depannya. Yang kulakukan saat itu adalah
meliriknya sambil berucap pelan. “kok bilang ke aku? Itu derita lo!” Dan aku
menyesali perkataanku saat itu.
pernah suatu hari aku melihatnya
sedih karena mendapat nilai jelek. Tanpa bisa kucegah, aku menghampirinya.
“Ardi kenapa?” tanyaku, aku sangat khawatir melihat wajahnya
yang terlihat lesu. Dia hanya menatapku sambil tersenyum kecut. Saat itu aku
hanya ingin menghiburnya, membuatnya tersenyum. tapi tak tahu harus berbuat apa.
Dalam doaku, aku hanya berdoa semoga dia bisa berdoa dan menenangkan dirinya
seperti aku. Karena bagiku hanya dengan bersujud kepada Tuhan segalanya akan
terasa menenangkan.
***
Hari begitu cepat berlalu, setiap
hari seperti biasa dia selalu bercerita padaku. Menjadi teman sharing.
Bahkan aku telah menganggapnya sebagai sahabatku, walau aku tak tahu dia
menganggapku atau tidak. Seperti biasa, dia duduk di sampingku lalu mengambil
bukuku dan menulis sesuatu di sana. Dia mencorat-coret gambar-gambarku.
“Ardi, nggak ada kerjaan ya. Bukuku
yang dicorat-coret terus. Coba deh bukumu yang digituin.”
Dia hanya nyengir di sampingku dan
tak menghentikan kegiatannya.
“Fal jelek, item, kecil lagi.”
Aku tersenyum mendengar ejekannya
yang sudah sering kudengar.
“kalo kamu kayak bapak-bapak,”
balasku sambil menulis kata bapak-bapak di bukuku sendiri.
Dia tersenyum, tak lama kemudian dia
menuliskan kata sedih di sana, lalu memberi imoticon menangis. Aku hanya
bisa senyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
Seusai kelas, dia mengajakku pergi
ke Fakultas Hukum untuk menemaninya. Aku hanya mengangguk. Dalam perjalanan,
aku suka mendengarkan cerita-ceritanya. Curhatannya dan keluh-kesahnya masalah
kuliah. Dan saat sedang asik mengobrol. Mataku menangkap seorang gadis manis
dari arah berlawanan dengan kami. Dia Nia, gadis itu juga menatap Ardi.
“hai!!” teriak Ardi lalu memelankan
laju motornya sambil menoleh ke belakang. “Nia, Fal,” katanya pelan.
Aku mencoba tersenyum. “iya, dia
manis ya.”
Ardi tersenyum. “dia pake kacamata
juga ternyata.” Katanya mengomentari penampilan Nia. Kemudian Ardi kembali
melajukan motornya.
Begitu cerahnya wajah Ardi saat
bertemu dengan Nia. Lagi-lagi ada yang mengiris hatiku. Hanya menarik napas
yang bisa kulakukan saat ini.
Sejak itu, aku berusaha
menghilangkan rasa itu padanya. Kadang berusaha menjauhinya. Aku ingin
menenggelamkan rasa sayang ini padanya. Agar setiap bertemu dengannya, agar
setiap mendengar ceritanya aku bisa lapang dada. Tak ada rasa yang sakit. Dan
agar aku bisa fokus kuliah. Aku juga berusaha menyadarkan diriku sendiri bahwa
laki-laki itu berbeda keyakinan denganku. setiap bertemu dengannya, hanya satu
yang kulakukan. Tersenyum seceria mungkin.
Tak kusangka, usahaku menghasilkan
buah. Aku bisa fokus kuliah dan setiap mendengarkan ceritanya lagi aku mulai
lapang. Walau hanya satu yang tak bisa kuhilangkan. Saat melihatnya sedih, saat
melihatnya kesusahan, atau kebingungan. Ada khawatir di sana. Aku hanya ingin
melihatnya senang, walau dia menyukai gadis lain. Asal dia senang, aku rela
melepaskannya.
***
Pada Natal semester tujuh aku
pulang. Dan aku tak pernah mengucapkan selamat natal pada Ardi. Karena memang
dalam agamaku tidak diperbolehkan. Dalam kereta aku merenung. Heran kenapa aku
bisa menyukai Ardi. Kenapa aku bisa menyukai laki-laki yang berbeda keyakinan
denganku. Padahal dulu waktu masih SMA, aku menyukai Alfa, laki-laki cerdas,
bertanggung jawab, ramah, sholeh dan tawadu’ juga rajin beribadah. Aku
tersenyum sendiri mengingat Alfa. bagaimana kabar laki-laki itu. Terakhir aku
melihat tweeternya, ketika dia jadian dengan mahasiswi kedokteran.
“lho? Fal?”
Aku terkejut saat seseorang
menepukku dari samping. Segera kutolehkan kepalaku. Mataku terbelalak tak
percaya seseorang yang telah menegurku dari samping. Ternyata Alfa. laki-laki
itu mengenakan baju merah batiknya yang biasa ia gunakan saat pondok romadhan di SMA.
“Alfa?” kataku tak percaya, aku
tersenyum senang melihatnya.
“gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik, Al. ciee, makin
gaul aja di Bogor.” Kataku. Entah mengapa, masih ada getaran aneh di dadaku
saat bertemu dengan laki-laki ini.
“harus ada perubahan, Fal. Kamu
dimana?”
Aku tersenyum. “aku di Jogja.”
Dan terjadilah obrolan panjang
dengan Alfa. Aku benar-benar tak menyangka bisa bertemu dengannya. Dengan cinta
pertamaku. Laki-laki yang selalu menjadi motivasiku di SMA dulu. Kata-katanya
yang selalu bijak. Dan semenjak pertemuanku dengan Alfa. Hubunganku dengan Alfa
semakin dekat. Saling berkirim pesan di HP, atau chatting di FB dan tweeter.
***
Rasa sakit itu kembali muncul.
Lagi-lagi aku melihatnya sedih begitu keluar dari ruangan skripsi. Wajah Ardi
kembali lesu, tak bersemangat. Aku menghampirinya. Aku tahu aku menyayangi
Ardi, aku sangat menyayanginya. Rela melakukan apa saja untuk menghilangkan
wajah kusutnya itu.
“Ardi kenapa? Cerita dong, jangan
sedih,” kataku. Dadaku kembali sesak saat melihatnya hanya tersenyum kecut tak
membuka suara.
Saat itulah aku ingin menangis. Tiga
tahun aku menyimpan rasa ini pada Ardi. Rasa sakit setiap melihatnya sedih,
walau aku tak tahu alasannya kenapa. Aku duduk di sampingnya, menemaninya dalam
diam. dalam hati aku hanya bisa berdoa. “ya Allah, tuntunlah hamba, tuntunlah
hamba dan berikan hamba kekuatan iman…”
“Ardi jangan sedih… harus move on…”
kataku. Aku tak tahu harus menghibur apalagi untuknya. Dia masih tak bergerak
sedikitpun.
Tak mendapat respon darinya.
Akhirnya aku beranjak dari tempat. Namun mendadak dia menarik tanganku. Aku tersentak, aku menoleh dan
menatapnya yang masih duduk. Dia masih diam tak berkata apa-apa. Namun tak juga
melepaskan tanganku. Hatiku semakin teriris melihatnya. Tanpa bisa kucegah, air
mataku menetes. Dan jatuh tepat pada tangannya yang mencekal pergelangan
tanganku. Aku terkejut melihat air mataku yang menetes itu. Kali ini aku
benar-benar pasrah saat dia mendongak dan melihatku menangis.
Ardi berdiri dan menatapku heran.
“maaf,” hanya itu yang bisa
kukatakan.
“Fal kenapa?” tanyanya kebingungan.
Aku menggeleng. “nggak… aku cuma
nggak suka kalo ngeliat Ardi sedih. Aku nggak tega. Aku cuma pengen ngeliat
Ardi senyum ceria.”
Ardi melepaskan cekalannya. Dia
mungkin terkejut, aku tidak tahu bagaimana mimik wajahnya saat itu.
Sambil mengusap air mata, Aku
mencoba menatap Ardi sambil tersenyum. “semangat ya, Ar. Yakin dan berdoa aja.”
setelah berkata begitu, aku melangkah pergi. Satu-satunya yang kuhubungi adalah
Alfa. akhir-akhir ini aku memang banyak bercerita dengan Alfa. tentang perasaan
anehku pada Ardi. Setiap Ardi bercerita perasaannya pada Nia, aku tidak
merasakan sakit, tapi setiap kumelihat wajah sedihnya. Aku sakit. Satu hal yang
diucapkan Alfa saat itu.
“banyaklah menbaca sholawat, Fal.
Banyaknya mengaji, sholat malam, biar kamu tenang.”
Dan aku benar-benar melakukan apa
yang dibilang Alfa. Aku memang mendapat ketenangan setelahnya.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Telah
lama aku tak bertemu dengan Ardi semenjak kelulusan wisuda. Semenjak kejadian
itu, aku memang mencoba menghindari Ardi. Aku takut, terlalu takut. Aku takut
semakin menyayangi laki-laki itu. Hanya jika berkumpul dengan teman-teman aku
mencoba bercanda dengannya. agar tidak terlalu kaku. Namun tak pernah pergi
berdua dengannya lagi hingga wisuda tiba.
Aku bekerja di luar jawa. Tepatnya
di Sumatra, tempat asal Nia. Beberapa kali aku bertemu dengan gadis itu ketika
aku main-main ke Lampung. Nia terlihat lebih cantik. Dan aku tidak tahu, dan
tak ingin tahu bagaimana hubungannya dengan Ardi. Karena semenjak kejadian itu,
Ardi tak pernah bercerita masalah Nia lagi. Mungkin karena sikapku yang sedikit
menghindar.
Hari ini, aku berencana ke Bogor.
Karena hari libur kerja, aku berencana untuk bertemu dengan Alfa. sekedar untuk
bermain-main. Laki-laki itu ternyata masih tetap sama, masih tetap taat
beribadah walau penampilannya lebih gaul. Pernah suatu hari aku mengomentari
penampilannya.
“nggak cocok, kayak anak nakal, Al.”
ucapku saat reuni SMA.
Alfa hanya tersenyum kecil. “ini
buat nutupi siapa aku, Fal…” jawabnya.
Aku hanya manggut-manggut saat itu
sambil tersenyum.
Turun di bandara, aku langsung
menghirup udara segar.
“Alhamdulillah…” ujarku pelan. Dua
tahun sibuk bekerja, membuatku tak memikirkan kehidupan di Jawa. Jakarta memang
lebih padat.
Aku memilih untuk naik taksi ke
apartemen Alfa. Salah satu yang kusukai dari Alfa adalah dia sangat menghormati
wanita. Apalagi wanita yang berkerudung seperti aku. Aku tersenyum mengingat
sikap Alfa.
Begitu taksi berhenti tepat di
alamat yang kukatakan. Aku langsung turun seteleah memberikan uang lima puluh
ribu pada bapaknya. Apartemen Alfa berada di lantai nomer dua dari atas, dan
paling atas adalah masjid. Begitu tiba
di lantai 30, samar-samar aku mendengar suara seseorang yang mengaji surat
Ar-Rahman. Ada sesuatu yang mengalir di dadaku. Terasa sejuk dan menenangkan.
Aku benar-benar merinding dibuatnya. Begitu tiba di depan pintu apartemen Alfa.
aku segera menekan bel.
“assalamua’alaikum…”
Tak lama pintu terbuka. Dan Alfa
muncul sambil tersenyum manis. “wa’alaikumsalam… masuk,” katanya sambil
melebarkan pintu.
Aku segera masuk, dan Alfa
membiarkan pintu apartemennnya terbuka.
“maaf, Fal. Aku baru pulang, jadi
belum mandi.”
“kan hari libur,” kataku.
Alfa tersenyum. “tadi ada urusan.”
Aku hanya mengangguk-angguk. Dengan
suasana yang kembali sunyi, suara merdu itu kembali menggelitik dadaku. Aku
tersenyum sambil memejamkan mata. “siapa sih yang ngaji ini, Al. suaranya merdu
banget.” Kataku masih memejamkan mata.
Alfa tersenyum. “temen,” katanya
simpul. “apalagi kalo denger suaraku. Serasa suara dari surga.”
Aku segera tergelak. “dari neraka
kali.” Ucapku disela tawa. Teringat masa-masa SMA dulu saat kubilang suara Alfa
merupakan suara dari neraka.
“aku mandi dulu ya, Fal.” Katanya.
Aku hanya mengagguk.
“Assalamu’alaikum…”
“wa’alaikum salam…” Alfa tersenyum
menatap ambang pintu. “Fal, suara dia yang ngajinya merdu tadi.” Ucap Alfa
membuatku menoleh ke ambang pintu.
Detik itulah segalanya terasa
berhenti. Laki-laki itu begitu tampan,
tinggi dan gagah berdiri di ambang pintu. Dia memakai sarung, baju taqwa
putih dan kopyah putih. Dia Ardi. Laki-laki yang selama ini menghilang dari
hidupku namun tak menghilang dari hatiku.
Pelan aku berdiri, mataku mulai
berkaca-kaca. Entah kenapa aku ingin menangis melihat laki-laki itu.
“Ardi?” suaraku terdengar lirih.
Ardi tersenyum sambil mengangguk.
“assalamu’alaikum, Fal.”
Saat itu lah air mataku kembali
menetes. “wa’alaikum salam…” suaraku bergetar. Terharu, senang bisa melihat
Ardi yang masih sehat. Mata coklatnya masih sama, tertutupi oleh kacamatanya.
“gimana kabarnya?” tanyanya masih
dengan senyuman. Dan posisinya masih sama, berdiri di ambang pintu dengan
sejadah di pundak.
“Alhamdulillah baik, Ar. Kamu
gimana? Masih sehat kan?”
Ardi tersenyum. “Alhamdulillah
sehat, makasih udah pernah minjemin HP-mu waktu itu. Walau kamu coba ngehindar.
Kalo kamu nggak minjemin HP-mu aku nggak mungkin liat SMS-mu sama Alfa. Dan aku
nggak mungkin bisa jadi kayak sekarang ini.”
Aku menunduk. Tak percaya dengan
semuanya. Kini Ardi satu keyakinan denganku.
“sejak kapan?” Tanyaku sambil
kembali mendongak.
“sejak aku keterima kerja di Bogor.
Aku memilih ikut keyakinan Mama, sama kayak Kakakku.”
Aku tahu, Papa Ardi memang beragama
katolik, sementara Mama dan kakak pertamanya beragama Islam.
“aku nggak mau ngeliat kamu nangis
lagi, Fal.”
Aku tergelak dibuatnya. “hehe… aku
cuma khawatir aja ngeliat kamu waktu itu.”
“khm… khm…”
Seketika aku sadar, bahwa di sana
masih ada Alfa yang belum beranjak ke kamar mandi. Aku langsung menoleh menatap
Alfa sambil tersenyum malu.
“aku mandi dulu ya, Fal…” katanya
penuh penekanan.
Aku tersenyum. “iya Ustad…” balasku.
Alfa langsung meninggalkan kami berdua. Aku tidak tahu harus bagaimana. Hatiku
sangat senang bertemu dengan Ardi lagi. Terharu, gembira. Ada gelenyar aneh
yang mengalir di dada. Gelenyar hangat. Dan untuk kali pertama, kami sholat
isya berjamaah di sana.
Semenjak itulah, segalanya berubah.
Ardi melamarku dan menjadi imam dalam kehidupan baruku.