pernahkan kamu merasa menjadi patung di tengah-tengah kerumunan orang?
pernahkan kamu ngerasa antara ada dan tiada?
dan pernahkan kamu punya empati terhadap orang yang mengalaminya?
dan pernahkan kamu berpikir di mana posisimu saat ini?
beginilah posisinya detik ini
seperti patung yang berdiri di tengah-tengah rumput hijau
jikala ada angin, patung tidak bergerak. sementara rumput-rumput itu bergerak.
dan di tengah-tengah itu pula, dia setengah mati agar tidak berubah menjadi air.
dan ternyata empati pun tak datang.
adakah kamu yang berempati terhadap kisahnya saat ini?
ingatlah kawan, posisi kita tidak akan selalu sama dimanapun kita berada.
Minggu, 13 Oktober 2013
Jumat, 11 Oktober 2013
Only Hope
Ifal duduk termenung menghadap ke barat di balkon
rumahnya. Dia menatap bentang cakrawala yang mulai berwarna merah lembayung
itu. Matahari mulai meninggalkan belahan bumi di mana Ifal berada dan
melaksanakan tugasnya di belahan bumi lain. Hal ini bukan pertama kalinya bagi
Ifal. Entah sudah berapa kali cewek yang mempunyai kulit sawu matang itu suka
memandang sunset.
Pikirannya
pun tidak jauh beda dengan hari-hari sebelumnya, yaitu memikirkan satu nama
cowok yang sudah mengusiknya setiap malam, yang telah membuat dirinya hampir
frustasi, yang telah membuat dirinya serba salah, yang telah membuat pikirannya
selalu dipenuhi kekhawatiran. Cowok itu bernama Alfat. Cowok yang sangat ramah
pada semua teman-temannya, cowok yang friendly, cowok yang fair dan sangat
cerdas.
Ifal
juga tidak ingin menebak-nebak sejak kapan dia mulai menyukai cowok itu.
dibandingkan cowok-cowok yang pernah ditaksirnya, Alfat kalah jauh. Cowok yang
pernah ditaksir Ifal merupakan cowok-cowok populer di sekolahnya. Sementara
Alfat, dia hanya cowok manis dan ‘keren’. Itupun pada saat tertentu cowok itu
bisa disebut keren.
Kali
ini Ifal merasa frustasi memikirkan cowok itu. Alfat bersifat baik dan ramah
pada semua teman-teman di kelasnya. Termasuk pada dirinya. Begitu rasa suka itu
berakar dan tumbuh menjadi cinta. Kini Alfat sudah menemukan tempat untuk berlabuh.
Kabar Alfat telah memilih salah satu cewek di sekolahnya membuat Ifal semakin
serba salah dan bingung. Dia harus bagaimana kali ini? Cowok itu selalu
bersikap ramah padanya. Mengajaknya pulang bareng dan terkadang menanyakan
sesuatu yang menurut Ifal tidak penting untuk ditanyakan.
Dan
kini Ifal sadar. Dia tidak mungkin mengharap cowok itu bagaikan dia mengharap
matahari menjadi hitam, karena dia tahu hal itu akan menguap kekosongan. Dan
sebelum awan itu menjadi kepingan lalu berbaur dengan udara. Sebelum cinta itu
semakin membeku menjadi batu lalu sulit tuk dihancurkan. Ifal berharap cintanya
musnah ditelan kegelapan.
***
Keesokan harinya di kelas, semua
teman-teman Ifal sibuk dengan lomba classmeeting
yang akan diadakan nanti sore. Ifal hanya duduk menyaksikan teman-temannya
ngoceh di depan walaupun sebenarnya pikirannya fokus pada Alfat yang berdiri di
antara teman-temannya yang lain yang berada di depan itu.
“nanti
kita mau tanding sama kelas XI IPA4! Jadi jangan terlalu ngeremehin ya!” ucap
Alfat menatap teman-temannya satu persatu.
“elo
itu yang harus serius! Jangan sampe kena pelet sama wajah cantik Pipit. Dia kan
cewek yang lagi elo taksir sekarang.” Ardi berdiri disamping Alfat dengan bibir
melengkung ke atas.
“apaan
sih!” Alfat hanya tersenyum menanggapinya.
Tapi
bagi Ifal, itu sudah cukup sebagai jawaban. Ifal bisa melihat cara Alfat
merespon candaan Ardi. Cowok itu terlihat salah tingkah. Sepertinya Alfat
memang serius pada Pipit, cewek cantik yang di kelas sebelah itu.
“cieeelaah…
udah deh Alfat, elo cepetan jujur sama cewek itu! entar keburu disambar orang
lagi!” teriak Ana dari belakang.
Alfat
semakin salah tingkah dibuatnya. Sementara Ifal hanya bisa ikut-ikutan
teman-temannya yang asik menggoda Alfat.
***
Pertandingan basket antara XI IPA5
dan XI IPA4 merupakan pertandingan sengit dan menakjupkan bagi penonton.
Apalagi bagi Ifal. Ifal senang melihat Alfat main bakset apalagi ketika cowok
itu men-drible bola. Alfat
benar-benar pintar mengecoh lawan dan menguasai bola. Hingga waktu tak terasa
sudah selesai dan dimenangkan oleh XI IPA5. Ifal bersorak di pinggir lapangan
saling sahut-menyahut dengan teman-temannya yang lain. Dia senang melihat Alfat
tertawa dan saling berpelukan dengan teman-temannya karena telah memenangkan
pertandingan.
Begitu
Ifal keluar dari gerbang sekolah, dia menghela napas, dia akan kembali jalan
kaki menuju rumahnya yang berjarak 500m. Hal ini sudah biasa baginya. Ifal
mulai melangkahkan kakinya perlahan. Tiba-tiba sebuah motor Jupiter berwarna
hijau berhenti tepat di hadapannya.
“mau
pulang bareng nggak, Fal?” tanya Alfat, sang pemilik motor Jupiter itu.
Ifal
sedikit ragu. Kenapa cowok ini selalu bersikap baik? Itu membuat dirinya
semakin sulit untuk melupakan perasaannya. Setelah diam sedikit lama, akhirnya
Ifal mengangguk pasrah. Karena disisi lain dia ingin berdua dengan Alfat,
sementara di sisi lainnya lagi, dia tidak ingin perasaannya semakin melambung
tinggi.
“selamat
ya, Al.” ucap Ifal begitu motor itu mulai melaju.
Alfat
tertawa renyah. “iya… makasih. Semoga kelas kita bisa mempertahankannya sampe
besok.”
Ifal
hanya mengangguk. Karena dia tidak sanggup berbicara lagi. hanya berdua dengan
Alfat, dia sudah merasa senang. Apalagi jika Alfat mempunyai rasa yang sama
terhadapnya. Tapi dia tidak boleh larut dalam kesenangan ini, karena Ifal tahu.
Walaupun Alfat dekat dengannya, tapi cowok itu jauh di sana. Dan Ifal tidak
mungkin mengecilkan lautan yang telah terbentang kecuali tuhan mentakdirkan.
***
Kali ini Ifal tidak tahan untuk
mengungkapkan isi hatinya pada Alfat. Pagi-pagi sekali Ifal datang ke sekolah
dan diam-diam meletakkan sesuatu di bangku cowok itu. Lalu secepat kilat dia
keluar dari kelas untuk mengelilingi sekolahnya agar dia bisa masuk ke kelas
begitu teman-temannya telah datang.
“dari
siapa nih?” tanya Alfat sambil membuka kertas berwarna biru di atas mejanya
itu.
Ardi,
Rizal dan Farel langsung menghampiri cowok itu. Begitu kertas itu terbuka.
Semuanya terpana membacanya.
I’m
scared to lose you…
I’m
scared to be far with you…
Even
though we’re just a friend…
But
with you beside me…
It
has made me happy…
“lo
dapet puisi dari siapa tuh?” celetuk Rizal seketika.
“kayaknya
penggemar lo deh.” Farel menimbrung.
Alfat
hanya tersenyum melihatnya. Disimpannya kertas itu di ranselnya. Semenatara
Ifal yang sudah masuk kelas diam-diam melihat mimik wajah Alfat. Cowok itu
terlihat datar dan sepertinya tidak terpengaruh dengan kertas yang dikirimnya.
“teman-teman!!!
Dengerin gue ya! Ada kabar bagus! Alfat sudah deket dengan Pipit. Kayaknya
sebentar lagi bakal ada yang mau traktiran nih!” teriak Risky dengan mata
melirik Alfat yang hanya senyam-senyum.
Kata-kata
itu kembali menusuk-nusuk Ifal. Dadanya bagaikan ditusuk oleh beribu-ribu jarum
dan perlahan mulai terasa perih. Ifal berusaha keras agar sakit itu tidak berubah
menjadi air mata. Walaupun tatapannya menatap ke depan. Tapi tatapan itu
kosong. Dia terpukul jauh di sana.
“nanti
bisa dateng kan?” tanya Alfat sepulang sekolah pada Ifal.
Ifal
menggeleng pelan.
“kenapa?”
“gue
ada acara keluarga.” Jawabnya simpul.
Alfat
terdiam lalu manganguk-angguk. “owh… kalo gitu gue duluan deh!”
Lagi-lagi
Ifal menjawab tanpa kata. Cewek itu hanya mengangguk dengan mata menatap
kepergian Alfat. Dan hati itu kembali sakit begitu dilihatnya Alfat pulang
bersama Pipit. Dengan cepat Ifal menundukkan wajahnya karena air mata itu mulai
membasahi matanya yang semakin lama terasa panas. Dadanya sesak tak
tertahankan.
***
Dan aku harus tetap tenang…
bertingkah seolah-olah rasa ini tak pernah ada, dan aku lagi-lagi harus menahan
air mata… agar tidak menetes sia-sia, dan lagi-lagi aku harus menahan rasa
sakit karena harus melihatmu dengan terpaksa…agar aku bisa tegar dengan semua
ini, dan berkali-kali aku harus menghela napas… agar rasa sakit ini bisa aku
tahan… agar aku bisa terus melihat ke depan bahwa di seberang lautan masih ada
lautan… di atas langit masih ada langit… bahwa jagat raya ini sangatlah luas…
bahwa hidupku masih panjang dan masih banyak yang harus kucapai….
Dada
Alfat terasa sesak membaca kertas itu. Dia mulai tidak tahan dengan semuanya.
Ini kedua kalinya dia mendapatkan surat. Akhirnya Alfat keluar dari kelas untuk
mencari siapa pengirim kertas itu.
Dia
pergi ke Pak Pur, penjaga sekolah yang bertugas membuka semua kelas setiap
pagi. Dia yakin Pak Pur tahu siapa yang sering datang pagi di kelasnya.
Dihampirinya Pak Pur yang sedang menyapu halaman sekolah itu.
“permisi
pak, saya anak kelas XI IPA5.” Jelas Alfat.
Pak
Pur menghentikan pekerjaannnya dan beralih pada Alfat dengan kepala mendongak
karena lebih tingi darinya. “ada apa?”
“gini
pak… bapak tau nggak siapa yang sering datang pagi-pagi di kelas saya? Bapak
pasti tahu kelas XI IPA5 kan?”
Pak
Pur menganggukkan kepalanya. “saya tau kelasnya nak Alfat. Sudah dua hari ini
nak Ifal selalu datang pagi. Bapak bahkan sempat ngobrol sama dia. Biasanya dia
sering ke belakang sekolah.” jelas Pak Pur pelan.
Alfat
sedikit tertergun. “terima kasih pak!” katanya kemudian berlalu dari hadapan
Pak Pur yang terbengong-bengong.
Semenatara
Ifal berdiri di belakang sekolah. menikmati taman-taman yang menghiasi halaman
belakang. Ifal memutuskan untuk melupakan cowok itu jauh-jauh. Dia tidak ingin
larut dalam harapan yang tidak pasti. Sementara banyak sesuatu yang telah ia
lewati di belakang sana. Dia berjanji akan menyenangkan dirinya sendiri kali
ini. Ifal mendongak sambil menghela napas dengan senyum manis di bibir. Namun
tiba-tiba ada yang menarik tangannya membuat dirinya tersentak.
“Alfat?!”
sentaknya tak percaya.
Alfat
diam dengan mata menatap lekat pada mata Ifal. Hembusan napasnya memburu
berbaur dengan napas Ifal yang juga memburu karena takut.
“lo
kan yang nulis puisi itu?” ujar Alfat pelan dengan mata lekat pada Ifal.
Ifal
menelan ludah, dia menundukkan wajahnya. “maafin gue…,” gumamnya.
Seketika
cekalan tangan Alfat pada pergelangan tanga Ifal mengendur.
Ifal
mendongak dengan air mata bening mulai menggenang di pelupuk matanya. “gue… gue
nggak tau sejak kapan… gue… gue hanya takut lo… lo ngebenci gue.” Katanya
terbata-bata.
Alfat
menghela napas. “kenapa gue harus ngebenci lo?” balasnya lirih.
Ifal
menunduk.
“semua
orang punya hak buat suka, punya hak buat ngungkapin rasa sukanya. Tapi… gue
baru pertama kalinya ngelihat cewek yang menanggung rasa sakit sampai
segitunya… gue yang harusnya minta maaf ke lo. Karena gue… lo jadi kayak gini.”
Ifal
mendongak sambil menggelengkan kepalanya. “seharusnya gue nggak ngirim
kata-kata itu ke lo.” Ucapnya ragu-ragu.
Alfat
tersenyum. “terimakasih Fal. Tapi maaf gue nggak bisa ngebales semuanya… mungkin
kita bisa jadi sahabat. Lo mau kan jadi sahabat gue?”
Ifal
hanya mengangguk. Air matanya mulai mengalir deras di pipinya. Dia tidak dapat
berkata apa-apa lagi. Tapi jauh di lubuk hatinya. Cewek itu merasa senang.
Menjadi seorang sahabat saja dia sudah merasa cukup. Ifal tahu sahabat lebih
berharga dari pada seorang pacar, dan dia tahu, masih ada banyak di dunia awan
yang belum mencair, dan semuanya tidak ada yang terlambat. Dan cintanya belum
membeku, karena masih banyak orang yang membutuhkan cinta darinya.
kalau
Kalau usaha telah kulakukan
Kalau do’a telah kukerjakan
Tapi tak ada yang nyata
Maka bertahan adalah jalan terbaik
Kalau kebohongan kukatakan
Kalau kemunafikan kutunjukkan
Dan jikalau kebenaran merupakan kesalahan
Maka semua akan menjadi salah
Tapi aku tidak dapat memutar waktu
Untuk mengungkapkan kebenaran itu
Ingin Bebas
Sang mentari telah menghilang
Butiran awan telah berbaur dengan udara
Makhluk-makhluk kecil mulai beterbangan
Menyambut malam yang akan datang
Termenung, tercenung dan memikirkan
Hidup sulit juga penuh paksaan
Dia ingin kebebasan
Dia ingin menjadi matahari yang bersinar
Dia ingin menjadi butiran awan yang bebas berbaur
Dia ingin menjadi makhluk-makhluk kecil yang bebas
berterbang
Indonesia telah merdeka
Indonesia telah jaya
Dan dia ingin seperti Indonesia
Dia ingin merdeka
Dia ingin ada pilihan dan bukan dengan mengakhirkan
Dia ingin ada jalan
Jalan menuju kebenaran bukan menuju kematian
Dia hidup tapi bagaikan mati
Mereka ingin dia hidup tapi mereka memaksanya untuk mati
Sabarlah sahabat
Suatu saat nanti kau akan terbang bebas
Kamis, 10 Oktober 2013
penantian
Raja
bintang telah tenggelam
dan
perlahan gelap datang
awan
merah lembayung pun perlahan menghitam
menyelimuti
bumi dengan kegelapan
sekejap
angin berhenti berhembus
sayup,
suara-suara kecil mulai terdengar
menyeruak
perlahan
memecah
kesunyian
namun,
dia masih tetap di sini
diam
dalam kebekuan
termenung
dalam kekosongan
demi
satu kehidupan
dan
saat waktu menjadi sebuah pedang
membangunkan
kesadaran
bahwa
tak kan ada yang datang
untuk
mengubah kehidupan
aku harus bertahan
Kau melihatku begini
Kau melihatku tak peduli
Dan kau menatapku tak berarti
Kuingin berteriak
Mengungkapkan pada dunia
Bahwa aku menyukaimu
Namun, aku sadar
Aku harus tetap tenang
Bertingkah seolah-olah rasa ini tak pernah ada
Dan aku harus menahan air mata
Agar tidak menetes sia-sia
Dan lagi-lagi kuharus menahan sakit
Karena harus melihatmu dengan terpaksa
Dan berkali-kali kuharus menghela napas
Agar rasa sakit ini bisa kutahan
Agar aku bisa tegar dengan semua ini
Agar aku bisa terus melihat ke depan
Bahwa di seberang lautan masih ada lautan
Di atas langit masih ada langit
Bahwa di dunia ini sangatlah luas
Bahwa hidupku masih panjang
Dan masih banyak mimpi yang harus kucapai
nanometer bab 2
Bab 2
Nano melahap sosisnya yang dicampur dengan selai coklat kacang. Dia
menatap adiknya yang sedang serius belajar. Kadang dia ingin seperti adiknya
yang menurutnya lumayan untuk dibilang perfect. Dia cukup disiplin, bisa
mengatur waktu, cantik dengan rambut panjangnya yang tidak sekeriting miliknya.
Rambut adiknya hanya bergelombang. Namun, yang membuat gadis itu terlihat
menarik adalah bulu matanya yang sangat lentik dengan bibir tipis.
“Nano berangkat dulu, Ma,
Pa”, katanya sambil beranjak dari tempatnya.
“jangan lupa HP-nya ntar diminta ke si gendut.” Celetuk Mira
tiba-tiba membuat gerakannya yang hendak menyalami tangan Papanya terhenti.
“namanya bukan gendut, tapi Duta”.
Mira menyeringai kecil. “owh, kirain.”
Nano menarik napas pelan lalu keluar dari rumahnya, lagi-lagi
dengan perasaan dongkol. Dia melangkah gontai sambil sesekali menendangi
kerikil yang berserakan di trotoar. Jalanan masih terdapat banyak genangan air.
sekarang memang musim hujan. Musim yang sangat disukainya. Nano tersenyum
sendiri mengingat kejadian kemarin dengan Duta di Perpustakaan Umum.
Pyurrr!
Seketika senyum Nano menghilang. Dia menatap mobil yang baru saja
melewatinya itu. “dasar songong!” makinya kesal. Dia menatap seragam putihnya
yang sekarang telah berwarna coklat. Selain seragamnya, sisi kanan wajahnya
juga terkena cipratan air kotor itu. Nano menarik napas dalam-dalam.
“kenapa nggak ganti saja seragamnya, Dik?”
Seketika Nano menoleh pada asal suara itu. dia sedikit terkejut
menatap wajah yang kemarin ditemuinya di Perpustakaan Umum. Nano tersenyum
kikuk menatap wajah tampan cowok itu. “saya tidak punya seragam lagi, Kak”.
Jelasnya pelan.
“owh, kalo gitu bagaimana mau masuk. Mau pake seragam seperti itu?”
Nano menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “iya juga sih”.
Sebenarnya Nano ingin bolos sekolah. namun dia memikirkan HP-nya yang berada di
Duta.
Ragu Nano menatap cowok tampan di
depannya itu.
“mau aku anterin ke sekolah?
kebetulan aku kerja di dekat perpustakaan yang kemarin kamu datengi itu.”
Nano tercengang. Namun akhirnya dia
mengangguk juga.
Selama perjalanan, Nano hanya diam.
dia sebenarnya ingin tahu siapa nama cowok berhati malaikan itu.
“dari tadi kita nggak kenalan ya.
Namamu siapa?” akhirnya cowok tampan itu yang membuka suara membuat Nano
sedikit terkejut.
Baru aja aku mau nanya.
Batinnya. “nama saya Nano, Kak.”
Cowok itu mengangguk. “namaku Mada.”
Nano mengangguk-anggukkan kepalanya.
“makasih ya, Kak, udah mau nganterin”, ucap Nano sambil tersenyum. Dia turun
dari mobil Mada lalu melambaikan tangannya ketika mobil itu menjauh.
Nano melangkahkan kakinya memasuki
gerbang sekolah.
“tunggu!”
Seketika langkah itu terhenti. Nano
memutar tubuhnya, kini didapatinya, Mada berdiri di hadapannya dengan sebuah
baju. Bukan, tepatnya sebuah jamper biru.
“kamu pake ini aja, biar nggak kelihatan
bajumu yang kotor itu. Kalo ditanya, bilang aja kalo kamu sakit.”
Nano terperangah. Dia masih tidak
percaya dengan apa yang dialaminya hari ini. Ini memang bukan hari yang cerah.
Tapi hatinya seakan ingin mencerahkan jam demi jam, menit demi menit dan detik
demi detik yang akan dilaluinya hari ini.
“makasih, Kak.” Ujarnya lalu
langsung pergi dari tempat itu seakan-akan tidak ingin jantungnya melompat kearah
Mada.
Setibanya di kelas, Nano langsung
memamerkan senyumnya pada Duta yang telah datang lebih awal. “hai!” sapanya
dengan senyuman yang masih sama.
Duta terlihat heran menatap Nano
yang menurutnya berbeda dengan kemarin. Dia tidak pernah melihat gadis itu
tersenyum selepas itu.
“HP-ku mana?” tanyanya langsung.
Duta tersenyum kecil. “jadi kamu
keliatan senang gitu gara-gara mau ketemu sama HP-mu lagi? ngapain kamu pake
jamper? Gara-gara hujan?”
Nano tidak menjawab pertanyaan Duta.
Dia hanya duduk di samping cowok itu dengan bibir tetap menyunggingkan senyum.
“ini jaket dari Kak Mada. Keren ya?”
Duta mengerutkan keningnya. “Mada?
Siapa?”
Nano mengibaskan tangannya di depan
Duta. “haduh, ceritanya panjang. Kapan-kapan aku certain deh. Hehe. so,
mana HP-ku?”
Duta menyerahkan HP itu dengan wajah
bingung. Dia melirik Nano yang masih terlihat sumringah. Pasti Mada itu orang
yang special bagi Nano. Duta mencoba tidak memikirkan masalah Mada, dia memutar
tubuhnya menghadap papan tulis. Hari kedua ini tidak terlalu buruk baginya.
Setidaknya dia telah menemukan satu teman untuk diajak ngobrol.
Grabak!
Grabuk!
Dino, Ivan dan Febri berlari
memasuki kelas seperti ketakutan membuat seisi kelas langung menoleh padanya.
“ada apa sih?” tanya Lia dengan
kening berkerut.
Seketika Ivan yang duduk di belakang
Lia menjawab sambil menyeringai. “nggak ada, Cuma ada Pak Hendra.”
Lia menarik napas. Emang dasar
iseng!
Tak lama kemudian, Pak Hendra
memasuki kelas dan berhenti tepat di depan papan tulis. “sebelumnya selamat pagi
anak-anak. Nama saya Hendra Bakti…”
“bukan Indra Bekti, Pak?” celetuk
Ivan dari belakang. Namun kali ini tidak ada yang mengubrisnya. Bukan karena
malas, tapi karena melihat wajah guru yang berada di depan itu membuat mereka
bungkam. Sepertinya guru ini guru yang tegas.
Guru itu menatap Ivan lekat-lekat,
dia berhenti sejenak karena terpotong oleh Ivan. Lama hanya menatap, lalu
menghela napas. Sementara seisi kelas mulai tegang termasuk juga dengan Ivan
yang terlihat menyesal dengan perbuatannya.
Tiba-tiba Pak Hendra tersenyum lebar
membuat seisi kelas melongo melihatnya. “pertama orangtua saya memang mau
memberi nama dengan Indra Bekti, karena Ibu saya fans beratnya. Itu pertanyaan
yang sudah lazim, Nak”, jelasnya sambil tersenyum.
Kali ini wajah seisi kelas mulai
terlihat lega. Bahkan ada yang menarik napas yang suara desahannya sampai
terdengar oleh satu kelas.
“kenapa kalian? Kok sampe menarik
napas kayak gitu. kayak habis menghadapi sesuatu yang menegangkan.” Komentar
Pak Hendra, “baik, saya lanjutkan lagi. hari ini kalian nggak ada pelajaran,
karena saya ada workshop di Jakarta. Kalian belajar sendiri saja. Selamat
pagi.”
“pagi, Pak!” teriakan anak-anak
mengiringi kepergian Pak Hendra dari ruang kelas.
“lucu juga tuh guru,” komentar Dino.
“woi! Woi! Woi! Dengerkan aku ya
semuanya!” kini Ivan berada di depan kelas sambil memegang penggaris.
“apa-apaan sih kamu, Van.” Ujar Lia
dari belakang.
Ivan langsung menuding cewek itu
dengan penggaris yang dipegangnya. “eh, aku di sini nih mau mimpin kalian buat
setruktur kelas. jangan curiga dulu dong!”
Seketika Lia juga ikut maju dan
langsung merangkul pundak Ivan. “oke, aku juga ikut membantu,” ucapnya.
“ah, kamu yang nulis aja deh, aku
yang nentuin!” perintah Ivan dengan wajah tak suka.
“huh.” Akhirnya Lia mengambil
Boardmarker untuk menulis siapa saja nama yang ditunjuk Ivan.
Ivan terdiam, dia menatap wajah
teman-temannya.
“kelamaan kamu, Van!” komentar Febri
dari belakang.
“ssst! Aku lagi nyari wajah yang
dapat dipercaya nih. Kalo milih kan harus bener, masa aku mau milih kamu yang
wajahnya udah kelihatan nggak bener gitu.” jelasnya dengan wajah datar. tapi
itulah yang membuat seisi kelas tertawa.
“eh, kamu. Duta, Duta. Aku nunjuk
kamu jadi ketua kelas. kayaknya cowok yang bener di sini cuma kamu. gimana
setuju???”
“setuju!!!” satu kelas kompak
menjawab, sementara Duta terlihat pasrah.
“dilarang protes,” lanjut Ivan.
“semangat ya!” Nano berbisik kecil
di samping Duta.
Wajah Ivan kembali berpikir. Dia
menatap dengan sarius wajah teman-temannya. “wakilnya… aku milih Haruki.”
“wah, cocok dijadikan pasangan.”
Komentar Lia yang berada di belakang Ivan.
Seisi kelas mulai ramai dengan
bisikan. Mengomentari kecocokan Duta dan Uki yang merupakan manusia terindah di
kelas.
“udah, udah! Yang ngomong cuma aku!”
teriak Ivan membuat seisi kelas senyap.
“sekretarisnya aku milih Lia, karena
dari kecil aku sudah kenal dia dan dia cukup baik jadi sekretaris. Gimana?
setuju??”
“iya!!”
Sementara Lia yang berada dibelakang
hanya menatap Ivan. Itulah kata-kata yang sangat disukainya dari Ivan. “dari
kecil.” Yeah, mereka memang teman dari kecil, rumahnya bertetanggaan. Dan
diam-diam Lia memang menyukai Ivan sejak kelas 1 SMP. Sambil tersenyum, Lia
menulis namanya sendiri di papan tulis.
Ivan itu lucu. Itulah kesan pertama
Lia saat pertama kali bertemu dengan Ivan. Wajahnya menarik, terlihat manis
dengan kulit kuning langsatnya. Dan bagi Lia Ivan termasuk cowok yang mempunyai
wajah lumayan di sekolah ini. Walaupun masih kalah jika dibandingkan dengan
Duta.
“oke, kebersihan kelas sekarang.
Koordinatornya aku mau Vera. Kamu cocok jadi kebersihan kalo lagi marah. Hehe…”
Ivan berhenti sejenak. “terus anggota satunya aku pengen si Nano.” Tatapannya
langsung tertuju padan Nano. Dan tiba-tiba Ivan mendekati bangku Nano dengan
tatap menyelidik. “namamu kenapa Nano sih?” bisiknya.
“yaelaaaaah, Ivaaaaan! Kamu iseng
banget sih.” Teriak Dino dari belakang.
“aku penasaran banget nih. Kenapa
kok bisa Nano?” tanyanya lagi membuat Nano salah tingkah.
“kalo mau tau, tanya langsung aja
sama Mama.”
Ivan tersenyum kecil menatap wajah
Nano. “oke, ntar kalo aku ke rumahmu. Aku tanyain.” Ujarnya.
“cieeee, jangan-jangan ada apa-apa
nih!” celetuk Dino yang tiba-tiba berada di samping bangku Nano.
Ivan langsung memberi tatapan tajam
pada Dino. Dan pemilihan struktur kelaspun dilanjutkan dengan canda tawa, juga
perbedaan pendapat antarsiswa.
***
“ke PU kan?” Nano berlari
menjejerkan langkahnya dengan Duta.
Duta menoleh sekilas dan membalas
dengan anggukan. “nggak ada yang ketinggalan lagi kan?” tanyanya sambil menahan
senyum.
Nano menghentikan langkahnya menatap
Duta dari belakang dengan bibir yang dimonyongkan. “nggak ADA. Kamu jadi kayak
adikku aja, cerewet!”
“adikmu Mira?”
Seketika Nano menoleh menatap heran
Duta. “kok tau?”
“waktu itu di HP-mu ada SMS dari
Mira rese, ya mungkin aja dia adikmu”.
Setibanya di perpustakaan umum, Duta
langsung menuju rak sejarah, sementara Nano langsung menghampiri penjaga
perpus. “Kak, seperti biasa”, ujarnya.
Si penjaga perpus yang beranama Azka
itu langsung menyerahkan novel yang kemarin dibaca oleh Nano. Sebelum
menyerahkan novel itu, Azka sedikit mencondongkan tubuhnya, “dia siapa? Si
cakep itu? gebetan?”
“hus! Bukan, Kak, dia itu temen
sebangkuku. Anaknya nggak banyak ngomong. Cuma temen doang kok.”
Azka manggut-manggut, namun
tatapannya tetap curiga.
“ya udah deh, Kak. Aku baca ini
dulu”. Nano langsung melangkah ke tempat biasanya yang sekarang juga menjadi
tempat baru Duta.
Begitu Nano duduk di hadapan Duta.
Matanya terpaku pada seorang cowok ang baru saja masuk ke perpus. Namun dia tak
berani untuk menyapa orang itu. akhirnya Nano hanya diam menunduk, pura-pura
tak melihat cowok tampan itu datang.
“kamu kenapa sih? Dari tadi kayaknya
gelisah banget.” Ucap Duta yang sedari tadi mengamati gerak-gerik Nano dari
balik bukunya.
“ada Kak Mada, Dut.”
Duta mengerutkan keningnya.
“dimana?”
“di sini. Kalo di luar aku nggak
mungkin gelisah gini lah.” Nano mencoba setenang munkin. Namun, kepalanya mulai
tidak fokus dengan bacaannya. Jantungnya juga tidak bekerja seperti biasanya.
Aneh.
“Dut, pulang yuk!” ujarnya pelan.
Seketika Duta mendongak, menatap
mata Nano yang terlihat kawatir. “ya udah deh.” Akhirnya Duta beranjak dari
tempatnya meletakkan buku ang dibacanya pada rak sejarah. “yuk!” ajaknya pada
Nano yang telah menunggu di ambang pintu.
“kamu naksir sama si Kak Mada itu?”
tanya Duta ketika mereka berada di luar.
Nano menoleh sekilas. “aku juga
nggak tau.” Jawabnya singkat dengan wajah menunduk. “mungkin iya, pasti aku
deg-degkan kalo ketemu dia”.
Duta manggut-manggut. Mereka terus
berjalan beriringan. Kali ini mereka sama-sama terdiam, memikirkan pikirannya
masing-masing.
“aw!”
Duta terjatuh. Dia mencoba kembali
berdiri. Namu kakinya terasa sakit.
Nano berjongkok di samping cowok
itu. “tergelincir ya?” Nano meraih kaki kiri Duta yang sedikit memerah karena
tergelincir dengan batu. Cewek itu mencoba memijiti kaki Duta. “makanya
hati-hati. Kakimu sampe merah gini.” Cerocosnya sambil terus memijiti kaki
cowok itu.
Sementara Duta hanya menatap. Dia
tidak menyangka akan mendapati perhatian seperti itu dari cewek SMA yang baru
dikenalnya. Inilah yang selama ini diinginkannya. Perhatian dan kasih sayang.
Tiba-tiba Duta ingin memegang tangan mungil yang memijitinya itu. Dia ingin
berterima kasih, dia ingin membalas kebaikan cewek berambut keriting itu.
Dag-dig-dug!
Duta tersentak dengan detak jantungnya sendiri yang terdengar lebih keras dari biasanya. Dia menatap Nano yang masih serius memijiti kakinya. Gadis ini, si nanometer ini. Duta tersenyum kecil. Dan buru-buru mengalihkan tatapannya ketika Nano mendongak.
Duta tersentak dengan detak jantungnya sendiri yang terdengar lebih keras dari biasanya. Dia menatap Nano yang masih serius memijiti kakinya. Gadis ini, si nanometer ini. Duta tersenyum kecil. Dan buru-buru mengalihkan tatapannya ketika Nano mendongak.
“gimana? udah mendingan?”
Duta terlihat salah tingkah sambil
menggerak-gerakkan kakinya. “iya, lumayan. Makasih ya.”
Nano berdiri lalu mengulurkan
tangannya untuk menarik Duta yang masih bersimpuh di tanah. “lain kali hati-hati
lho! Bisa bahaya tuh,” pesan Nano dengan mata menatap kaki Duta.
Duta hanya tersenyum, “hm.”
Mereka kembali melanjutkan
perjalanannya. Sementara Duta diam-diam memerhatikan Nano dari samping.
Diamatinya Nano yang sering mengotak-atik HP-nya, terkadang menendang kerikil,
terkadang menarik napas keras-keras. Si nanometer ini.
***
Drrrt-drrrt-drrrt!
Nano meraih HP-nya yang berada di
atas meja. “halo?” sambutnya tanpa melihat siapa yang menelepon.
“hai, Nan. Ini aku Duta.”
“oh kamu, Dut. Ada apa?”
Diseberang Duta menarik napas.
“besok ada PR nggak?”
Nano terlihat berpikir sejenak. “kayaknya sih nggak. tumben
telepon. Biasanya kan SMS.”
“pengen ngobrol. Bosen di rumah,
nggak ada kerjaan”.
“hmm, kakimu gimana sekarang? Udah
baikan kan? Oh iya, coba deh kamu kasih minyak tawon, ntar bengkaknya hilang.”
Nano. Duta tersenyum. “iya, Nan.
Udah kok. kakakku juga ngasi saran gitu.”
“kamu punya kakak?”
“iya, cowok.” jawabnya.
Nano tersenyum kecil. “enak ya, kamu
pasti sering diperhatiin. Dia pasti sering ngelindungi kamu.”
“…”,
“Dut?”
“hm?”
“kok diem?”
“nggak pa-pa. iya dia sering
merhatiin aku.”
“tuh kan, dari dulu aku pengen punya
kakak. Tapi malah jadi anak pertama, ampun deh. Yang ada aku sering diomelin
sama adikku itu.” cerocosnya penuh emosi membuat Duta tertawa kecil.
Akhirnya Duta lebih banyak diam.
sementara Nano terus menceritakan kisah adiknya dengan dirinya yang tak pernah
akur. Dan tentang dirinya yang ingin pindah kamar. Dia juga bercerita tentang
ketidaksukaannya dipanggil nanometer. Hal itu cukup membuat Duta tersenyum dan
tertawa. Apalagi mendengar Nano yang sepertinya senang.
Langganan:
Postingan (Atom)