Jumat, 11 Oktober 2013

Only Hope

Ifal duduk termenung menghadap ke barat di balkon rumahnya. Dia menatap bentang cakrawala yang mulai berwarna merah lembayung itu. Matahari mulai meninggalkan belahan bumi di mana Ifal berada dan melaksanakan tugasnya di belahan bumi lain. Hal ini bukan pertama kalinya bagi Ifal. Entah sudah berapa kali cewek yang mempunyai kulit sawu matang itu suka memandang sunset.
          Pikirannya pun tidak jauh beda dengan hari-hari sebelumnya, yaitu memikirkan satu nama cowok yang sudah mengusiknya setiap malam, yang telah membuat dirinya hampir frustasi, yang telah membuat dirinya serba salah, yang telah membuat pikirannya selalu dipenuhi kekhawatiran. Cowok itu bernama Alfat. Cowok yang sangat ramah pada semua teman-temannya, cowok yang friendly, cowok yang fair dan sangat cerdas.
          Ifal juga tidak ingin menebak-nebak sejak kapan dia mulai menyukai cowok itu. dibandingkan cowok-cowok yang pernah ditaksirnya, Alfat kalah jauh. Cowok yang pernah ditaksir Ifal merupakan cowok-cowok populer di sekolahnya. Sementara Alfat, dia hanya cowok manis dan ‘keren’. Itupun pada saat tertentu cowok itu bisa disebut keren.
          Kali ini Ifal merasa frustasi memikirkan cowok itu. Alfat bersifat baik dan ramah pada semua teman-teman di kelasnya. Termasuk pada dirinya. Begitu rasa suka itu berakar dan tumbuh menjadi cinta. Kini Alfat sudah menemukan tempat untuk berlabuh. Kabar Alfat telah memilih salah satu cewek di sekolahnya membuat Ifal semakin serba salah dan bingung. Dia harus bagaimana kali ini? Cowok itu selalu bersikap ramah padanya. Mengajaknya pulang bareng dan terkadang menanyakan sesuatu yang menurut Ifal tidak penting untuk ditanyakan.
          Dan kini Ifal sadar. Dia tidak mungkin mengharap cowok itu bagaikan dia mengharap matahari menjadi hitam, karena dia tahu hal itu akan menguap kekosongan. Dan sebelum awan itu menjadi kepingan lalu berbaur dengan udara. Sebelum cinta itu semakin membeku menjadi batu lalu sulit tuk dihancurkan. Ifal berharap cintanya musnah ditelan kegelapan.
***
Keesokan harinya di kelas, semua teman-teman Ifal sibuk dengan lomba classmeeting yang akan diadakan nanti sore. Ifal hanya duduk menyaksikan teman-temannya ngoceh di depan walaupun sebenarnya pikirannya fokus pada Alfat yang berdiri di antara teman-temannya yang lain yang berada di depan itu.
          “nanti kita mau tanding sama kelas XI IPA4! Jadi jangan terlalu ngeremehin ya!” ucap Alfat menatap teman-temannya satu persatu.           
          “elo itu yang harus serius! Jangan sampe kena pelet sama wajah cantik Pipit. Dia kan cewek yang lagi elo taksir sekarang.” Ardi berdiri disamping Alfat dengan bibir melengkung ke atas.
          “apaan sih!” Alfat hanya tersenyum menanggapinya.
          Tapi bagi Ifal, itu sudah cukup sebagai jawaban. Ifal bisa melihat cara Alfat merespon candaan Ardi. Cowok itu terlihat salah tingkah. Sepertinya Alfat memang serius pada Pipit, cewek cantik yang di kelas sebelah itu.
          “cieeelaah… udah deh Alfat, elo cepetan jujur sama cewek itu! entar keburu disambar orang lagi!” teriak Ana dari belakang.
          Alfat semakin salah tingkah dibuatnya. Sementara Ifal hanya bisa ikut-ikutan teman-temannya yang asik menggoda Alfat.
***
Pertandingan basket antara XI IPA5 dan XI IPA4 merupakan pertandingan sengit dan menakjupkan bagi penonton. Apalagi bagi Ifal. Ifal senang melihat Alfat main bakset apalagi ketika cowok itu men-drible bola. Alfat benar-benar pintar mengecoh lawan dan menguasai bola. Hingga waktu tak terasa sudah selesai dan dimenangkan oleh XI IPA5. Ifal bersorak di pinggir lapangan saling sahut-menyahut dengan teman-temannya yang lain. Dia senang melihat Alfat tertawa dan saling berpelukan dengan teman-temannya karena telah memenangkan pertandingan.
          Begitu Ifal keluar dari gerbang sekolah, dia menghela napas, dia akan kembali jalan kaki menuju rumahnya yang berjarak 500m. Hal ini sudah biasa baginya. Ifal mulai melangkahkan kakinya perlahan. Tiba-tiba sebuah motor Jupiter berwarna hijau berhenti tepat di hadapannya.
          “mau pulang bareng nggak, Fal?” tanya Alfat, sang pemilik motor Jupiter itu.
          Ifal sedikit ragu. Kenapa cowok ini selalu bersikap baik? Itu membuat dirinya semakin sulit untuk melupakan perasaannya. Setelah diam sedikit lama, akhirnya Ifal mengangguk pasrah. Karena disisi lain dia ingin berdua dengan Alfat, sementara di sisi lainnya lagi, dia tidak ingin perasaannya semakin melambung tinggi.
          “selamat ya, Al.” ucap Ifal begitu motor itu mulai melaju.
          Alfat tertawa renyah. “iya… makasih. Semoga kelas kita bisa mempertahankannya sampe besok.”
          Ifal hanya mengangguk. Karena dia tidak sanggup berbicara lagi. hanya berdua dengan Alfat, dia sudah merasa senang. Apalagi jika Alfat mempunyai rasa yang sama terhadapnya. Tapi dia tidak boleh larut dalam kesenangan ini, karena Ifal tahu. Walaupun Alfat dekat dengannya, tapi cowok itu jauh di sana. Dan Ifal tidak mungkin mengecilkan lautan yang telah terbentang kecuali tuhan mentakdirkan.
***
Kali ini Ifal tidak tahan untuk mengungkapkan isi hatinya pada Alfat. Pagi-pagi sekali Ifal datang ke sekolah dan diam-diam meletakkan sesuatu di bangku cowok itu. Lalu secepat kilat dia keluar dari kelas untuk mengelilingi sekolahnya agar dia bisa masuk ke kelas begitu teman-temannya telah datang.
          “dari siapa nih?” tanya Alfat sambil membuka kertas berwarna biru di atas mejanya itu.
          Ardi, Rizal dan Farel langsung menghampiri cowok itu. Begitu kertas itu terbuka. Semuanya terpana membacanya.
          I’m scared to lose you…
          I’m scared to be far with you…
          Even though we’re just a friend…
          But with you beside me…
          It has made me happy…
          “lo dapet puisi dari siapa tuh?” celetuk Rizal seketika.
          “kayaknya penggemar lo deh.” Farel menimbrung.
          Alfat hanya tersenyum melihatnya. Disimpannya kertas itu di ranselnya. Semenatara Ifal yang sudah masuk kelas diam-diam melihat mimik wajah Alfat. Cowok itu terlihat datar dan sepertinya tidak terpengaruh dengan kertas yang dikirimnya.
          “teman-teman!!! Dengerin gue ya! Ada kabar bagus! Alfat sudah deket dengan Pipit. Kayaknya sebentar lagi bakal ada yang mau traktiran nih!” teriak Risky dengan mata melirik Alfat yang hanya senyam-senyum.
          Kata-kata itu kembali menusuk-nusuk Ifal. Dadanya bagaikan ditusuk oleh beribu-ribu jarum dan perlahan mulai terasa perih. Ifal berusaha keras agar sakit itu tidak berubah menjadi air mata. Walaupun tatapannya menatap ke depan. Tapi tatapan itu kosong. Dia terpukul jauh di sana.
          “nanti bisa dateng kan?” tanya Alfat sepulang sekolah pada Ifal.
          Ifal menggeleng pelan.
          “kenapa?”
          “gue ada acara keluarga.” Jawabnya simpul.
          Alfat terdiam lalu manganguk-angguk. “owh… kalo gitu gue duluan deh!”
          Lagi-lagi Ifal menjawab tanpa kata. Cewek itu hanya mengangguk dengan mata menatap kepergian Alfat. Dan hati itu kembali sakit begitu dilihatnya Alfat pulang bersama Pipit. Dengan cepat Ifal menundukkan wajahnya karena air mata itu mulai membasahi matanya yang semakin lama terasa panas. Dadanya sesak tak tertahankan.
***
Dan aku harus tetap tenang… bertingkah seolah-olah rasa ini tak pernah ada, dan aku lagi-lagi harus menahan air mata… agar tidak menetes sia-sia, dan lagi-lagi aku harus menahan rasa sakit karena harus melihatmu dengan terpaksa…agar aku bisa tegar dengan semua ini, dan berkali-kali aku harus menghela napas… agar rasa sakit ini bisa aku tahan… agar aku bisa terus melihat ke depan bahwa di seberang lautan masih ada lautan… di atas langit masih ada langit… bahwa jagat raya ini sangatlah luas… bahwa hidupku masih panjang dan masih banyak yang harus  kucapai….
          Dada Alfat terasa sesak membaca kertas itu. Dia mulai tidak tahan dengan semuanya. Ini kedua kalinya dia mendapatkan surat. Akhirnya Alfat keluar dari kelas untuk mencari siapa pengirim kertas itu.
          Dia pergi ke Pak Pur, penjaga sekolah yang bertugas membuka semua kelas setiap pagi. Dia yakin Pak Pur tahu siapa yang sering datang pagi di kelasnya. Dihampirinya Pak Pur yang sedang menyapu halaman sekolah itu.
          “permisi pak, saya anak kelas XI IPA5.” Jelas Alfat.
          Pak Pur menghentikan pekerjaannnya dan beralih pada Alfat dengan kepala mendongak karena lebih tingi darinya. “ada apa?”
          “gini pak… bapak tau nggak siapa yang sering datang pagi-pagi di kelas saya? Bapak pasti tahu kelas XI IPA5 kan?”
          Pak Pur menganggukkan kepalanya. “saya tau kelasnya nak Alfat. Sudah dua hari ini nak Ifal selalu datang pagi. Bapak bahkan sempat ngobrol sama dia. Biasanya dia sering ke belakang sekolah.” jelas Pak Pur pelan.
          Alfat sedikit tertergun. “terima kasih pak!” katanya kemudian berlalu dari hadapan Pak Pur yang terbengong-bengong.
          Semenatara Ifal berdiri di belakang sekolah. menikmati taman-taman yang menghiasi halaman belakang. Ifal memutuskan untuk melupakan cowok itu jauh-jauh. Dia tidak ingin larut dalam harapan yang tidak pasti. Sementara banyak sesuatu yang telah ia lewati di belakang sana. Dia berjanji akan menyenangkan dirinya sendiri kali ini. Ifal mendongak sambil menghela napas dengan senyum manis di bibir. Namun tiba-tiba ada yang menarik tangannya membuat dirinya tersentak.
          “Alfat?!” sentaknya tak percaya.
          Alfat diam dengan mata menatap lekat pada mata Ifal. Hembusan napasnya memburu berbaur dengan napas Ifal yang juga memburu karena takut.
          “lo kan yang nulis puisi itu?” ujar Alfat pelan dengan mata lekat pada Ifal.
          Ifal menelan ludah, dia menundukkan wajahnya. “maafin gue…,” gumamnya.
          Seketika cekalan tangan Alfat pada pergelangan tanga Ifal mengendur.
          Ifal mendongak dengan air mata bening mulai menggenang di pelupuk matanya. “gue… gue nggak tau sejak kapan… gue… gue hanya takut lo… lo ngebenci gue.” Katanya terbata-bata.
          Alfat menghela napas. “kenapa gue harus ngebenci lo?” balasnya lirih.
          Ifal menunduk.
          “semua orang punya hak buat suka, punya hak buat ngungkapin rasa sukanya. Tapi… gue baru pertama kalinya ngelihat cewek yang menanggung rasa sakit sampai segitunya… gue yang harusnya minta maaf ke lo. Karena gue… lo jadi kayak gini.”
          Ifal mendongak sambil menggelengkan kepalanya. “seharusnya gue nggak ngirim kata-kata itu ke lo.” Ucapnya ragu-ragu.
          Alfat tersenyum. “terimakasih Fal. Tapi maaf gue nggak bisa ngebales semuanya… mungkin kita bisa jadi sahabat. Lo mau kan jadi sahabat gue?”

          Ifal hanya mengangguk. Air matanya mulai mengalir deras di pipinya. Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Tapi jauh di lubuk hatinya. Cewek itu merasa senang. Menjadi seorang sahabat saja dia sudah merasa cukup. Ifal tahu sahabat lebih berharga dari pada seorang pacar, dan dia tahu, masih ada banyak di dunia awan yang belum mencair, dan semuanya tidak ada yang terlambat. Dan cintanya belum membeku, karena masih banyak orang yang membutuhkan cinta darinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar