Ifal duduk termenung menghadap ke barat di balkon
rumahnya. Dia menatap bentang cakrawala yang mulai berwarna merah lembayung
itu. Matahari mulai meninggalkan belahan bumi di mana Ifal berada dan
melaksanakan tugasnya di belahan bumi lain. Hal ini bukan pertama kalinya bagi
Ifal. Entah sudah berapa kali cewek yang mempunyai kulit sawu matang itu suka
memandang sunset.
Pikirannya
pun tidak jauh beda dengan hari-hari sebelumnya, yaitu memikirkan satu nama
cowok yang sudah mengusiknya setiap malam, yang telah membuat dirinya hampir
frustasi, yang telah membuat dirinya serba salah, yang telah membuat pikirannya
selalu dipenuhi kekhawatiran. Cowok itu bernama Alfat. Cowok yang sangat ramah
pada semua teman-temannya, cowok yang friendly, cowok yang fair dan sangat
cerdas.
Ifal
juga tidak ingin menebak-nebak sejak kapan dia mulai menyukai cowok itu.
dibandingkan cowok-cowok yang pernah ditaksirnya, Alfat kalah jauh. Cowok yang
pernah ditaksir Ifal merupakan cowok-cowok populer di sekolahnya. Sementara
Alfat, dia hanya cowok manis dan ‘keren’. Itupun pada saat tertentu cowok itu
bisa disebut keren.
Kali
ini Ifal merasa frustasi memikirkan cowok itu. Alfat bersifat baik dan ramah
pada semua teman-teman di kelasnya. Termasuk pada dirinya. Begitu rasa suka itu
berakar dan tumbuh menjadi cinta. Kini Alfat sudah menemukan tempat untuk berlabuh.
Kabar Alfat telah memilih salah satu cewek di sekolahnya membuat Ifal semakin
serba salah dan bingung. Dia harus bagaimana kali ini? Cowok itu selalu
bersikap ramah padanya. Mengajaknya pulang bareng dan terkadang menanyakan
sesuatu yang menurut Ifal tidak penting untuk ditanyakan.
Dan
kini Ifal sadar. Dia tidak mungkin mengharap cowok itu bagaikan dia mengharap
matahari menjadi hitam, karena dia tahu hal itu akan menguap kekosongan. Dan
sebelum awan itu menjadi kepingan lalu berbaur dengan udara. Sebelum cinta itu
semakin membeku menjadi batu lalu sulit tuk dihancurkan. Ifal berharap cintanya
musnah ditelan kegelapan.
***
Keesokan harinya di kelas, semua
teman-teman Ifal sibuk dengan lomba classmeeting
yang akan diadakan nanti sore. Ifal hanya duduk menyaksikan teman-temannya
ngoceh di depan walaupun sebenarnya pikirannya fokus pada Alfat yang berdiri di
antara teman-temannya yang lain yang berada di depan itu.
“nanti
kita mau tanding sama kelas XI IPA4! Jadi jangan terlalu ngeremehin ya!” ucap
Alfat menatap teman-temannya satu persatu.
“elo
itu yang harus serius! Jangan sampe kena pelet sama wajah cantik Pipit. Dia kan
cewek yang lagi elo taksir sekarang.” Ardi berdiri disamping Alfat dengan bibir
melengkung ke atas.
“apaan
sih!” Alfat hanya tersenyum menanggapinya.
Tapi
bagi Ifal, itu sudah cukup sebagai jawaban. Ifal bisa melihat cara Alfat
merespon candaan Ardi. Cowok itu terlihat salah tingkah. Sepertinya Alfat
memang serius pada Pipit, cewek cantik yang di kelas sebelah itu.
“cieeelaah…
udah deh Alfat, elo cepetan jujur sama cewek itu! entar keburu disambar orang
lagi!” teriak Ana dari belakang.
Alfat
semakin salah tingkah dibuatnya. Sementara Ifal hanya bisa ikut-ikutan
teman-temannya yang asik menggoda Alfat.
***
Pertandingan basket antara XI IPA5
dan XI IPA4 merupakan pertandingan sengit dan menakjupkan bagi penonton.
Apalagi bagi Ifal. Ifal senang melihat Alfat main bakset apalagi ketika cowok
itu men-drible bola. Alfat
benar-benar pintar mengecoh lawan dan menguasai bola. Hingga waktu tak terasa
sudah selesai dan dimenangkan oleh XI IPA5. Ifal bersorak di pinggir lapangan
saling sahut-menyahut dengan teman-temannya yang lain. Dia senang melihat Alfat
tertawa dan saling berpelukan dengan teman-temannya karena telah memenangkan
pertandingan.
Begitu
Ifal keluar dari gerbang sekolah, dia menghela napas, dia akan kembali jalan
kaki menuju rumahnya yang berjarak 500m. Hal ini sudah biasa baginya. Ifal
mulai melangkahkan kakinya perlahan. Tiba-tiba sebuah motor Jupiter berwarna
hijau berhenti tepat di hadapannya.
“mau
pulang bareng nggak, Fal?” tanya Alfat, sang pemilik motor Jupiter itu.
Ifal
sedikit ragu. Kenapa cowok ini selalu bersikap baik? Itu membuat dirinya
semakin sulit untuk melupakan perasaannya. Setelah diam sedikit lama, akhirnya
Ifal mengangguk pasrah. Karena disisi lain dia ingin berdua dengan Alfat,
sementara di sisi lainnya lagi, dia tidak ingin perasaannya semakin melambung
tinggi.
“selamat
ya, Al.” ucap Ifal begitu motor itu mulai melaju.
Alfat
tertawa renyah. “iya… makasih. Semoga kelas kita bisa mempertahankannya sampe
besok.”
Ifal
hanya mengangguk. Karena dia tidak sanggup berbicara lagi. hanya berdua dengan
Alfat, dia sudah merasa senang. Apalagi jika Alfat mempunyai rasa yang sama
terhadapnya. Tapi dia tidak boleh larut dalam kesenangan ini, karena Ifal tahu.
Walaupun Alfat dekat dengannya, tapi cowok itu jauh di sana. Dan Ifal tidak
mungkin mengecilkan lautan yang telah terbentang kecuali tuhan mentakdirkan.
***
Kali ini Ifal tidak tahan untuk
mengungkapkan isi hatinya pada Alfat. Pagi-pagi sekali Ifal datang ke sekolah
dan diam-diam meletakkan sesuatu di bangku cowok itu. Lalu secepat kilat dia
keluar dari kelas untuk mengelilingi sekolahnya agar dia bisa masuk ke kelas
begitu teman-temannya telah datang.
“dari
siapa nih?” tanya Alfat sambil membuka kertas berwarna biru di atas mejanya
itu.
Ardi,
Rizal dan Farel langsung menghampiri cowok itu. Begitu kertas itu terbuka.
Semuanya terpana membacanya.
I’m
scared to lose you…
I’m
scared to be far with you…
Even
though we’re just a friend…
But
with you beside me…
It
has made me happy…
“lo
dapet puisi dari siapa tuh?” celetuk Rizal seketika.
“kayaknya
penggemar lo deh.” Farel menimbrung.
Alfat
hanya tersenyum melihatnya. Disimpannya kertas itu di ranselnya. Semenatara
Ifal yang sudah masuk kelas diam-diam melihat mimik wajah Alfat. Cowok itu
terlihat datar dan sepertinya tidak terpengaruh dengan kertas yang dikirimnya.
“teman-teman!!!
Dengerin gue ya! Ada kabar bagus! Alfat sudah deket dengan Pipit. Kayaknya
sebentar lagi bakal ada yang mau traktiran nih!” teriak Risky dengan mata
melirik Alfat yang hanya senyam-senyum.
Kata-kata
itu kembali menusuk-nusuk Ifal. Dadanya bagaikan ditusuk oleh beribu-ribu jarum
dan perlahan mulai terasa perih. Ifal berusaha keras agar sakit itu tidak berubah
menjadi air mata. Walaupun tatapannya menatap ke depan. Tapi tatapan itu
kosong. Dia terpukul jauh di sana.
“nanti
bisa dateng kan?” tanya Alfat sepulang sekolah pada Ifal.
Ifal
menggeleng pelan.
“kenapa?”
“gue
ada acara keluarga.” Jawabnya simpul.
Alfat
terdiam lalu manganguk-angguk. “owh… kalo gitu gue duluan deh!”
Lagi-lagi
Ifal menjawab tanpa kata. Cewek itu hanya mengangguk dengan mata menatap
kepergian Alfat. Dan hati itu kembali sakit begitu dilihatnya Alfat pulang
bersama Pipit. Dengan cepat Ifal menundukkan wajahnya karena air mata itu mulai
membasahi matanya yang semakin lama terasa panas. Dadanya sesak tak
tertahankan.
***
Dan aku harus tetap tenang…
bertingkah seolah-olah rasa ini tak pernah ada, dan aku lagi-lagi harus menahan
air mata… agar tidak menetes sia-sia, dan lagi-lagi aku harus menahan rasa
sakit karena harus melihatmu dengan terpaksa…agar aku bisa tegar dengan semua
ini, dan berkali-kali aku harus menghela napas… agar rasa sakit ini bisa aku
tahan… agar aku bisa terus melihat ke depan bahwa di seberang lautan masih ada
lautan… di atas langit masih ada langit… bahwa jagat raya ini sangatlah luas…
bahwa hidupku masih panjang dan masih banyak yang harus kucapai….
Dada
Alfat terasa sesak membaca kertas itu. Dia mulai tidak tahan dengan semuanya.
Ini kedua kalinya dia mendapatkan surat. Akhirnya Alfat keluar dari kelas untuk
mencari siapa pengirim kertas itu.
Dia
pergi ke Pak Pur, penjaga sekolah yang bertugas membuka semua kelas setiap
pagi. Dia yakin Pak Pur tahu siapa yang sering datang pagi di kelasnya.
Dihampirinya Pak Pur yang sedang menyapu halaman sekolah itu.
“permisi
pak, saya anak kelas XI IPA5.” Jelas Alfat.
Pak
Pur menghentikan pekerjaannnya dan beralih pada Alfat dengan kepala mendongak
karena lebih tingi darinya. “ada apa?”
“gini
pak… bapak tau nggak siapa yang sering datang pagi-pagi di kelas saya? Bapak
pasti tahu kelas XI IPA5 kan?”
Pak
Pur menganggukkan kepalanya. “saya tau kelasnya nak Alfat. Sudah dua hari ini
nak Ifal selalu datang pagi. Bapak bahkan sempat ngobrol sama dia. Biasanya dia
sering ke belakang sekolah.” jelas Pak Pur pelan.
Alfat
sedikit tertergun. “terima kasih pak!” katanya kemudian berlalu dari hadapan
Pak Pur yang terbengong-bengong.
Semenatara
Ifal berdiri di belakang sekolah. menikmati taman-taman yang menghiasi halaman
belakang. Ifal memutuskan untuk melupakan cowok itu jauh-jauh. Dia tidak ingin
larut dalam harapan yang tidak pasti. Sementara banyak sesuatu yang telah ia
lewati di belakang sana. Dia berjanji akan menyenangkan dirinya sendiri kali
ini. Ifal mendongak sambil menghela napas dengan senyum manis di bibir. Namun
tiba-tiba ada yang menarik tangannya membuat dirinya tersentak.
“Alfat?!”
sentaknya tak percaya.
Alfat
diam dengan mata menatap lekat pada mata Ifal. Hembusan napasnya memburu
berbaur dengan napas Ifal yang juga memburu karena takut.
“lo
kan yang nulis puisi itu?” ujar Alfat pelan dengan mata lekat pada Ifal.
Ifal
menelan ludah, dia menundukkan wajahnya. “maafin gue…,” gumamnya.
Seketika
cekalan tangan Alfat pada pergelangan tanga Ifal mengendur.
Ifal
mendongak dengan air mata bening mulai menggenang di pelupuk matanya. “gue… gue
nggak tau sejak kapan… gue… gue hanya takut lo… lo ngebenci gue.” Katanya
terbata-bata.
Alfat
menghela napas. “kenapa gue harus ngebenci lo?” balasnya lirih.
Ifal
menunduk.
“semua
orang punya hak buat suka, punya hak buat ngungkapin rasa sukanya. Tapi… gue
baru pertama kalinya ngelihat cewek yang menanggung rasa sakit sampai
segitunya… gue yang harusnya minta maaf ke lo. Karena gue… lo jadi kayak gini.”
Ifal
mendongak sambil menggelengkan kepalanya. “seharusnya gue nggak ngirim
kata-kata itu ke lo.” Ucapnya ragu-ragu.
Alfat
tersenyum. “terimakasih Fal. Tapi maaf gue nggak bisa ngebales semuanya… mungkin
kita bisa jadi sahabat. Lo mau kan jadi sahabat gue?”
Ifal
hanya mengangguk. Air matanya mulai mengalir deras di pipinya. Dia tidak dapat
berkata apa-apa lagi. Tapi jauh di lubuk hatinya. Cewek itu merasa senang.
Menjadi seorang sahabat saja dia sudah merasa cukup. Ifal tahu sahabat lebih
berharga dari pada seorang pacar, dan dia tahu, masih ada banyak di dunia awan
yang belum mencair, dan semuanya tidak ada yang terlambat. Dan cintanya belum
membeku, karena masih banyak orang yang membutuhkan cinta darinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar