Minggu, 29 Desember 2013

Dia Seorang Muslim


Dia Seorang Muslim

“sebenarnya aku juga suka seseorang di sini.”
            Serasa ada yang memukul dadaku saat itu. Tersentak dengan ucapannya. Sekuat tenaga kumencoba tetap tersenyum, sambil menyembunyikan wajahku darinya.
            “ciee… biar aku tebak siapa,” kataku seketika.
            Aku tak menyangka masih bisa berkata seperti itu setelah mendengar pengakuannya yang mengejutkan. Aku yakin gadis yang dia suka bukan aku. Entah mengapa aku merasa gadis yang dia suka adalah anak kelas lain. Dan aku mengenalnya.
            “anak kelas lain, kan?”
            Ada kilatan terjejut di matanya. “kok tau?”
            Dan lagi, sekuat tenaga aku mencoba tersenyum penuh arti. “iya dong. Lagian juga udah keliatan kok. Cara kamu ngobrol sama dia udah keliatan. Apa perlu aku sebutin namanya?”
            Dia sibuk menutup pintu mobil, sementara aku duduk sambil pura-pura memainkan HP. Dan pastinya masih dengan bibir tersenyum jahil. Kutunggu responnya, hingga begitu dia menyalakan mobil, matanya beralih menatapku sambil tersenyum malu-malu.
            “coba aja kalo kamu emang tau.”
            Aku memaksakan senyuman yang sama. Walau diam-diam aku menarik napas yang terasa berat. “Nia, kan?” ucapku.
            Kulihat wajahnya langsung berubah cerah. Dia memalingkan wajahnya dariku, menatap lurus ke depan lalu melajukan mobil.
            “iya, Nia.” Katanya pelan. “nggak tau kenapa aku bisa suka sama dia. Dia imut, manis, cantik. Dan kayaknya dia juga suka sama aku.”
            Otakku mendadak mengingat tingkah gadis itu saat bersama Ardi. Dia terlihat ceria, beda dan perhatian. Aku juga sempat melihat Ardi mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas.
            Aku tersenyum mengingatnya. Walau hati ini sakit, tapi entah mengapa. Aku senang melihat Ardi senang. Yang terpenting bagiku adalah Ardi masih menganggapku ada dan sebagai teman yang dipercaya.
            “iya, Ar. Kayaknya dia juga suka sama kamu. Keliatan kok.”
            Ardi langsung tertawa-tawa. Namun tak berkomentar apa-apa. Mobil melaju pelan begitu hampir tiba di kosanku. Dan saat mobil itu berhenti, aku membuka mobil. Sebelum menutupnya aku tersenyum pada Ardi.
            “makasih, Ar. Dan selamat berjuang buat Nia. Hahaha...”
            Seketika Ardi tersenyum. “haha, udah ah, Fal. Jangan bikin aku makin berharap ke dia. Dia udah punya cowok kok.”
            Lagi-lagi aku tersenyum. Walau aku juga merasa aneh dengan senyumku ini. “kan cuma sebatas suka. Pokoknya selamat berjuang deh. Hehe, ya udah, Ar. Hati-hati yaa…” begitu mobil Ardi menghilang, aku langsung mesuk ke dalam kos. Setelah beberapa kali menarik napas, akhirnya tanganku bisa menulis dengan lancar pada diary coklatku.
***
            Aku tidak tahu sejak kapan rasa ini ada untuk Ardi. Dia bahkan laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Selama ini aku tak pernah menyukai laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Ardi beragama katolik, dan aku islam. Selama SMA, aku selalu menyukai laki-laki yang taat pada agama, yang rajin, tawadu’ dan bertanggung jawab. Sementara Ardi, laki-laki ramah dengan wajah belasteran cina jawa itu, dan memiliki mata coklat itu, aku tak tahu kenapa aku bisa menyukainya. Banyak laki-laki yang bertanggung jawab di sini, banyak laki-laki yang baik di sini. Tapi entah kenapa hatiku jatuh padanya.
            Aku juga tidak tahu sejak kapan rasa ini tumbuh dan menjalar. Dia memang cukup dekat denganku, dia kadang manja, dia kadang suka mencorat-coret bukuku, dia kadang mengejekku, memberi kritikan pedas, dan kadang bercerita panjang lebar tentang keluarganya, dan untuk kali pertama dia bercerita masalah perasaannya pada gadis itu.
            Ada sesuatu yang mengiris hatiku. Itu pasti, tapi ada hal yang lebih menyakitkan bagiku daripada mengetahui masalah perasaannya pada gadis itu. saat melihatnya sedih, tak bersemangat, saat melihatnya bingung, saat melihatnya lelah. Hal itulah yang membuatku rela melakukan sesuatu untuk membuatnya kembali tersenyum. Hal yang paling membuatku sakit saat melihatnya sedih.
            Pernah suatu hari dia mendadak duduk di sampingku lalu berkata, “aku sakit, Fal.”
            aku langsung khawatir dibuatnya. Namun aku tak ingin menunjukkannya di depannya. Yang kulakukan saat itu adalah meliriknya sambil berucap pelan. “kok bilang ke aku? Itu derita lo!” Dan aku menyesali perkataanku saat itu.
           pernah suatu hari aku melihatnya sedih karena mendapat nilai jelek. Tanpa bisa kucegah, aku menghampirinya.
            “Ardi kenapa?”  tanyaku, aku sangat khawatir melihat wajahnya yang terlihat lesu. Dia hanya menatapku sambil tersenyum kecut. Saat itu aku hanya ingin menghiburnya, membuatnya tersenyum. tapi tak tahu harus berbuat apa. Dalam doaku, aku hanya berdoa semoga dia bisa berdoa dan menenangkan dirinya seperti aku. Karena bagiku hanya dengan bersujud kepada Tuhan segalanya akan terasa menenangkan.
***
            Hari begitu cepat berlalu, setiap hari seperti biasa dia selalu bercerita padaku. Menjadi teman sharing. Bahkan aku telah menganggapnya sebagai sahabatku, walau aku tak tahu dia menganggapku atau tidak. Seperti biasa, dia duduk di sampingku lalu mengambil bukuku dan menulis sesuatu di sana. Dia mencorat-coret gambar-gambarku.
            “Ardi, nggak ada kerjaan ya. Bukuku yang dicorat-coret terus. Coba deh bukumu yang digituin.”
            Dia hanya nyengir di sampingku dan tak menghentikan kegiatannya.
            “Fal jelek, item, kecil lagi.”
            Aku tersenyum mendengar ejekannya yang sudah sering kudengar.
            “kalo kamu kayak bapak-bapak,” balasku sambil menulis kata bapak-bapak di bukuku sendiri.
            Dia tersenyum, tak lama kemudian dia menuliskan kata sedih di sana, lalu memberi imoticon menangis. Aku hanya bisa senyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalaku.
            Seusai kelas, dia mengajakku pergi ke Fakultas Hukum untuk menemaninya. Aku hanya mengangguk. Dalam perjalanan, aku suka mendengarkan cerita-ceritanya. Curhatannya dan keluh-kesahnya masalah kuliah. Dan saat sedang asik mengobrol. Mataku menangkap seorang gadis manis dari arah berlawanan dengan kami. Dia Nia, gadis itu juga menatap Ardi.
            “hai!!” teriak Ardi lalu memelankan laju motornya sambil menoleh ke belakang. “Nia, Fal,” katanya pelan.
            Aku mencoba tersenyum. “iya, dia manis ya.”
            Ardi tersenyum. “dia pake kacamata juga ternyata.” Katanya mengomentari penampilan Nia. Kemudian Ardi kembali melajukan motornya.
            Begitu cerahnya wajah Ardi saat bertemu dengan Nia. Lagi-lagi ada yang mengiris hatiku. Hanya menarik napas yang bisa kulakukan saat ini.
            Sejak itu, aku berusaha menghilangkan rasa itu padanya. Kadang berusaha menjauhinya. Aku ingin menenggelamkan rasa sayang ini padanya. Agar setiap bertemu dengannya, agar setiap mendengar ceritanya aku bisa lapang dada. Tak ada rasa yang sakit. Dan agar aku bisa fokus kuliah. Aku juga berusaha menyadarkan diriku sendiri bahwa laki-laki itu berbeda keyakinan denganku. setiap bertemu dengannya, hanya satu yang kulakukan. Tersenyum seceria mungkin.
            Tak kusangka, usahaku menghasilkan buah. Aku bisa fokus kuliah dan setiap mendengarkan ceritanya lagi aku mulai lapang. Walau hanya satu yang tak bisa kuhilangkan. Saat melihatnya sedih, saat melihatnya kesusahan, atau kebingungan. Ada khawatir di sana. Aku hanya ingin melihatnya senang, walau dia menyukai gadis lain. Asal dia senang, aku rela melepaskannya.
***
            Pada Natal semester tujuh aku pulang. Dan aku tak pernah mengucapkan selamat natal pada Ardi. Karena memang dalam agamaku tidak diperbolehkan. Dalam kereta aku merenung. Heran kenapa aku bisa menyukai Ardi. Kenapa aku bisa menyukai laki-laki yang berbeda keyakinan denganku. Padahal dulu waktu masih SMA, aku menyukai Alfa, laki-laki cerdas, bertanggung jawab, ramah, sholeh dan tawadu’ juga rajin beribadah. Aku tersenyum sendiri mengingat Alfa. bagaimana kabar laki-laki itu. Terakhir aku melihat tweeternya, ketika dia jadian dengan mahasiswi kedokteran.
            “lho? Fal?”
            Aku terkejut saat seseorang menepukku dari samping. Segera kutolehkan kepalaku. Mataku terbelalak tak percaya seseorang yang telah menegurku dari samping. Ternyata Alfa. laki-laki itu mengenakan baju merah batiknya yang biasa ia gunakan saat pondok  romadhan di SMA.
            “Alfa?” kataku tak percaya, aku tersenyum senang melihatnya.
            “gimana kabarnya?”
            “Alhamdulillah baik, Al. ciee, makin gaul aja di Bogor.” Kataku. Entah mengapa, masih ada getaran aneh di dadaku saat bertemu dengan laki-laki ini.
            “harus ada perubahan, Fal. Kamu dimana?”
            Aku tersenyum. “aku di Jogja.”
            Dan terjadilah obrolan panjang dengan Alfa. Aku benar-benar tak menyangka bisa bertemu dengannya. Dengan cinta pertamaku. Laki-laki yang selalu menjadi motivasiku di SMA dulu. Kata-katanya yang selalu bijak. Dan semenjak pertemuanku dengan Alfa. Hubunganku dengan Alfa semakin dekat. Saling berkirim pesan di HP, atau chatting di FB dan tweeter.
***
            Rasa sakit itu kembali muncul. Lagi-lagi aku melihatnya sedih begitu keluar dari ruangan skripsi. Wajah Ardi kembali lesu, tak bersemangat. Aku menghampirinya. Aku tahu aku menyayangi Ardi, aku sangat menyayanginya. Rela melakukan apa saja untuk menghilangkan wajah kusutnya itu.
            “Ardi kenapa? Cerita dong, jangan sedih,” kataku. Dadaku kembali sesak saat melihatnya hanya tersenyum kecut tak membuka suara.
            Saat itulah aku ingin menangis. Tiga tahun aku menyimpan rasa ini pada Ardi. Rasa sakit setiap melihatnya sedih, walau aku tak tahu alasannya kenapa. Aku duduk di sampingnya, menemaninya dalam diam. dalam hati aku hanya bisa berdoa. “ya Allah, tuntunlah hamba, tuntunlah hamba dan berikan hamba kekuatan iman…”
            “Ardi jangan sedih… harus move on…” kataku. Aku tak tahu harus menghibur apalagi untuknya. Dia masih tak bergerak sedikitpun.
            Tak mendapat respon darinya. Akhirnya aku beranjak dari tempat. Namun mendadak dia menarik  tanganku. Aku tersentak, aku menoleh dan menatapnya yang masih duduk. Dia masih diam tak berkata apa-apa. Namun tak juga melepaskan tanganku. Hatiku semakin teriris melihatnya. Tanpa bisa kucegah, air mataku menetes. Dan jatuh tepat pada tangannya yang mencekal pergelangan tanganku. Aku terkejut melihat air mataku yang menetes itu. Kali ini aku benar-benar pasrah saat dia mendongak dan melihatku menangis.
            Ardi berdiri dan menatapku heran.
            “maaf,” hanya itu yang bisa kukatakan.
            “Fal kenapa?” tanyanya kebingungan.
            Aku menggeleng. “nggak… aku cuma nggak suka kalo ngeliat Ardi sedih. Aku nggak tega. Aku cuma pengen ngeliat Ardi senyum ceria.”
            Ardi melepaskan cekalannya. Dia mungkin terkejut, aku tidak tahu bagaimana mimik wajahnya saat itu.
            Sambil mengusap air mata, Aku mencoba menatap Ardi sambil tersenyum. “semangat ya, Ar. Yakin dan berdoa aja.” setelah berkata begitu, aku melangkah pergi. Satu-satunya yang kuhubungi adalah Alfa. akhir-akhir ini aku memang banyak bercerita dengan Alfa. tentang perasaan anehku pada Ardi. Setiap Ardi bercerita perasaannya pada Nia, aku tidak merasakan sakit, tapi setiap kumelihat wajah sedihnya. Aku sakit. Satu hal yang diucapkan Alfa saat itu.
            “banyaklah menbaca sholawat, Fal. Banyaknya mengaji, sholat malam, biar kamu tenang.”
            Dan aku benar-benar melakukan apa yang dibilang Alfa. Aku memang mendapat ketenangan setelahnya.
***
            Waktu berlalu begitu cepat. Telah lama aku tak bertemu dengan Ardi semenjak kelulusan wisuda. Semenjak kejadian itu, aku memang mencoba menghindari Ardi. Aku takut, terlalu takut. Aku takut semakin menyayangi laki-laki itu. Hanya jika berkumpul dengan teman-teman aku mencoba bercanda dengannya. agar tidak terlalu kaku. Namun tak pernah pergi berdua dengannya lagi hingga wisuda tiba.
            Aku bekerja di luar jawa. Tepatnya di Sumatra, tempat asal Nia. Beberapa kali aku bertemu dengan gadis itu ketika aku main-main ke Lampung. Nia terlihat lebih cantik. Dan aku tidak tahu, dan tak ingin tahu bagaimana hubungannya dengan Ardi. Karena semenjak kejadian itu, Ardi tak pernah bercerita masalah Nia lagi. Mungkin karena sikapku yang sedikit menghindar.
            Hari ini, aku berencana ke Bogor. Karena hari libur kerja, aku berencana untuk bertemu dengan Alfa. sekedar untuk bermain-main. Laki-laki itu ternyata masih tetap sama, masih tetap taat beribadah walau penampilannya lebih gaul. Pernah suatu hari aku mengomentari penampilannya.
            “nggak cocok, kayak anak nakal, Al.” ucapku saat reuni SMA.
            Alfa hanya tersenyum kecil. “ini buat nutupi siapa aku, Fal…” jawabnya.
            Aku hanya manggut-manggut saat itu sambil tersenyum.
            Turun di bandara, aku langsung menghirup udara segar.
            “Alhamdulillah…” ujarku pelan. Dua tahun sibuk bekerja, membuatku tak memikirkan kehidupan di Jawa. Jakarta memang lebih padat.
            Aku memilih untuk naik taksi ke apartemen Alfa. Salah satu yang kusukai dari Alfa adalah dia sangat menghormati wanita. Apalagi wanita yang berkerudung seperti aku. Aku tersenyum mengingat sikap Alfa.
            Begitu taksi berhenti tepat di alamat yang kukatakan. Aku langsung turun seteleah memberikan uang lima puluh ribu pada bapaknya. Apartemen Alfa berada di lantai nomer dua dari atas, dan paling atas adalah masjid. Begitu  tiba di lantai 30, samar-samar aku mendengar suara seseorang yang mengaji surat Ar-Rahman. Ada sesuatu yang mengalir di dadaku. Terasa sejuk dan menenangkan. Aku benar-benar merinding dibuatnya. Begitu tiba di depan pintu apartemen Alfa. aku segera menekan bel.
            “assalamua’alaikum…”
            Tak lama pintu terbuka. Dan Alfa muncul sambil tersenyum manis. “wa’alaikumsalam… masuk,” katanya sambil melebarkan pintu.
            Aku segera masuk, dan Alfa membiarkan pintu apartemennnya terbuka.
            “maaf, Fal. Aku baru pulang, jadi belum mandi.”
            “kan hari libur,” kataku.
            Alfa tersenyum. “tadi ada urusan.”
            Aku hanya mengangguk-angguk. Dengan suasana yang kembali sunyi, suara merdu itu kembali menggelitik dadaku. Aku tersenyum sambil memejamkan mata. “siapa sih yang ngaji ini, Al. suaranya merdu banget.” Kataku masih memejamkan mata.
            Alfa tersenyum. “temen,” katanya simpul. “apalagi kalo denger suaraku. Serasa suara dari surga.”
            Aku segera tergelak. “dari neraka kali.” Ucapku disela tawa. Teringat masa-masa SMA dulu saat kubilang suara Alfa merupakan suara dari neraka.
            “aku mandi dulu ya, Fal.” Katanya.
            Aku hanya mengagguk.
            “Assalamu’alaikum…”
            “wa’alaikum salam…” Alfa tersenyum menatap ambang pintu. “Fal, suara dia yang ngajinya merdu tadi.” Ucap Alfa membuatku menoleh ke ambang pintu.
            Detik itulah segalanya terasa berhenti. Laki-laki itu begitu tampan,  tinggi dan gagah berdiri di ambang pintu. Dia memakai sarung, baju taqwa putih dan kopyah putih. Dia Ardi. Laki-laki yang selama ini menghilang dari hidupku namun tak menghilang dari hatiku.
            Pelan aku berdiri, mataku mulai berkaca-kaca. Entah kenapa aku ingin menangis melihat laki-laki itu.
            “Ardi?” suaraku terdengar lirih.
            Ardi tersenyum sambil mengangguk. “assalamu’alaikum, Fal.”
            Saat itu lah air mataku kembali menetes. “wa’alaikum salam…” suaraku bergetar. Terharu, senang bisa melihat Ardi yang masih sehat. Mata coklatnya masih sama, tertutupi oleh kacamatanya.
            “gimana kabarnya?” tanyanya masih dengan senyuman. Dan posisinya masih sama, berdiri di ambang pintu dengan sejadah di pundak.
            “Alhamdulillah baik, Ar. Kamu gimana? Masih sehat kan?”
            Ardi tersenyum. “Alhamdulillah sehat, makasih udah pernah minjemin HP-mu waktu itu. Walau kamu coba ngehindar. Kalo kamu nggak minjemin HP-mu aku nggak mungkin liat SMS-mu sama Alfa. Dan aku nggak mungkin bisa jadi kayak sekarang ini.”
            Aku menunduk. Tak percaya dengan semuanya. Kini Ardi satu keyakinan denganku.
            “sejak kapan?” Tanyaku sambil kembali mendongak.
            “sejak aku keterima kerja di Bogor. Aku memilih ikut keyakinan Mama, sama kayak Kakakku.”
            Aku tahu, Papa Ardi memang beragama katolik, sementara Mama dan kakak pertamanya beragama Islam.
            “aku nggak mau ngeliat kamu nangis lagi, Fal.”
            Aku tergelak dibuatnya. “hehe… aku cuma khawatir aja ngeliat kamu waktu itu.”
            “khm… khm…”
            Seketika aku sadar, bahwa di sana masih ada Alfa yang belum beranjak ke kamar mandi. Aku langsung menoleh menatap Alfa sambil tersenyum malu.
            “aku mandi dulu ya, Fal…” katanya penuh penekanan.
            Aku tersenyum. “iya Ustad…” balasku. Alfa langsung meninggalkan kami berdua. Aku tidak tahu harus bagaimana. Hatiku sangat senang bertemu dengan Ardi lagi. Terharu, gembira. Ada gelenyar aneh yang mengalir di dada. Gelenyar hangat. Dan untuk kali pertama, kami sholat isya berjamaah di sana.
            Semenjak itulah, segalanya berubah. Ardi melamarku dan menjadi imam dalam kehidupan baruku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar